Jakarta (ANTARA News - Saya sering mendapatkan pertanyaan dari kawan-kawan yang baru saja tiba mengunjungi Swiss: mengapa tiap tahun negara ini presidennya berganti.

Uniknya lagi, mereka bergantian di antara anggota federal council yang hanya tujuh orang. Tidak perlu kampanye yang melelahkan dengan biaya besar seperti di Indonesia atau Amerika Serikat, juga tidak perlu harus gegeran bertahun-tahun seperti yang sekarang terjadi di Pantai Gading, Afrika.

Semuanya berjalan lancar, tertib dan teratur sebagaimana teraturnya sistem kehidupan lain di Swiss. Yang juga mengherankan banyak di antara pejabat itu, dari tingkat menteri ke bawah, yang tidak mendapat fasilitas negara.

Sejarah jabatan presiden bergantian tentunya tidak lepas dari sejarah berdirinya Swiss sendiri. Negara yang sekarang terdiri dari 26 kanton (semacam negara bagian), itu mula-mula didirikan oleh wakil-wakil masyarakat dari tiga kanton, Uri, Swhyz dan Unterwalden yang pada tahun 1291 bersekutu untuk melawan penjajahan kekaisaran Austria.

Berkat persekutuan ini, mereka sukses menjaga kemerdekaannya dari penjajahan Austria. Keberhasilan mereka ini menarik kelompok masyarakat di sekitarnya yang secara bertahap lalu bergabung sehingga membentuk wilayah yang sekarang bernama Republik Konfederasi Switzerland.

Kalau ketemu warga Swiss, saya sering juga bercerita ketika masyarakat tiga Kanton itu mulai meletakkan dasar-dasar negara konfederasi Swiss yang terus berkembang dan maju serta makmur seperti sekarang ini.

Leluhur kami waktu itu berhasil mengusir tentara Mongol dari dinasti Yuan yang dipimpin Khubilai Khan dan berdirilah kerajaan Majapahit yang sempat lama berjaya. Tetapi Majapahit kemudian runtuh dan penduduk kepulauan Nusantara pun harus rela dijajah Belanda selama hampir 3,5 abad lamanya.

Maka, ketika merdeka pun kita memulainya nyaris dari nol. Sedangkan Swiss makin kokoh dengan sistem pemerintahan konfederasinya. Prinsip utama dari pemerintahan konfederasi ini ialah tidak ada orang yang sangat berkuasa, tetapi juga tidak ada orang yang paling berat menanggung tugas kewajiban. Semuanya ditanggung bersama sehingga kepemimpinan bersifat kolegial.

Presiden Swiss bukanlah orang paling berkuasa sebagaimana dalam negara bersistem presidensial. Hanya saja dia yang menjadi semacam koordinator dan kalau bertemu dengan pihak lain, dia yang akan berada di depan dulu. Sistem demikian ini sudah berjalan sejak konstitusi Swiss modern disahkan tahun 1848. sistem ini untuk mencegah orang berkuasa terus, atau menjadi sangat berkuasa atau sok berkuasa.

Jelas kediktatoran tidak akan laku. Juga sistem ini mencegah seorang tokoh mewariskan kekuasaan, misalnya setelah sang suami lengser, diganti istrinya, terus anaknya, terus cucunya atau keponakannya. Hal yang demikian tidak akan terjadi di Swiss.

Ciri lain pemerintahan Swiss ialah amat efisien, efektif dan hemat dalam segala hal. Saya pernah berkunjung ke ruang kerja seorang menteri, kamar kerjanya itu sangat sederhana, hanya ada seperangkat sofa dan satu set komputer. Meski Swiss negara yang sangat kaya raya dengan APBN yang setiap tahun selalu surplus, pejabat tingginya biasa-biasa saja tanpa fasilitas mencolok.

Jumlah menteri termasuk presiden dan wakil presiden hanya tujuh orang. Mereka inilah yang disebut sebagai Federal Council atau Dewan Federal. Untuk efisiensi, Presiden Calmy Rey merangkap menteri luar negeri, sedang wapres Eveline Widmer Schlumpf merangkap Menteri Kehakiman dan Kepolisian.

Meski hanya punya tujuh menteri yang merangkap presiden dan wakil presiden, pemerintahan Swiss tidak banyak menghabiskan dana untuk memberikan fasilitas kepada para pejabat tersebut. Para menteri ini sangat mudah ditemui warga masyarakat sedang nunggu bus atau naik tram seperti warga masyarakat lain.

Jika bepergian antarkota cukup naik kereta api, tidak perlu naik mobil disopiri dengan pengawalan vorijders yang panjang. Hanya kalau ada acara resmi saja, baru ada pengawalan resmi polisi. itupun karena terkait protokol. Jadi, ongkos membiayai pejabat tidak banyak menjadi beban rakyat.

Para menteri ini fasilitasnya tidak banyak. Mereka tidak dapat rumah dinas, tidak ada mobil dinas khusus, tidak ada pengawalan khusus, tidak ada tunjangan khusus. Karena itu istri atau suami menteri juga sama sekali tidak mendapat fasilitas apa-apa, mereka rakyat biasa seperti warga Swiss lainnya.

Satu-satunya fasilitas, para menteri ini mendapat gaji sebesar 400.000 CHF atau hampir sama dengan 405.000 dolar AS per tahun. jika bisa menjabat selama empat tahun penuh, mereka akan mendapat pensiun sebesar separuh jumlah tersebut. Gaji tersebut tampaknya sangat besar, tetapi jika dibanding dengan gaji terendah Swiss yang per tahunnya sekitar 70.000 - 80.000 CHF tidak terlalu mencolok. Bahkan jika dibanding sektor swasta, misal direktur bank yang malahan bisa bergaji jutaan dolar, maka tidak banyak yang mengeluh dengan gaji para pejabat di Swiss.

Kabarnya ada mobil dinas, tetapi dipakai bergantian siapa yang memerlukan. jadi, sopir kantor tidak banyak di Swiss. Saya bolak-balik mengalami ketemuan dengan pejabat tinggi menyopir mobil sendiri, baik dari kalangan pemerintahan maupun swasta.

Masa jabatan dewan federal selama empat tahun. Mereka dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan komposisi partai yang ada di parlemen. Dengan demikian, parlemen Swiss juga tidak mengenal sistem oposisi sebagaimana di parlemen negara Eropa lainnya. Biasanya jika seseorang sudah menjadi menteri atau anggota Federal Council, dia akan terus menerus dipilih sampai pensiun atau bosan jadi menteri. Biasanya ini berlangsung antara tiga sampai lima periode jabatan.

Dalam sejarah Swiss sejak berlakunya konstitusi modern, hanya empat kali anggota dewan menteri dipecat dari jabatannya sebelum periodenya berakhir. Kasus terakhir terjadi tahun 2007 yang menimpa Christoph Blocher yang dianggap melakukan pelanggaran etika jabatan.

Di Swiss etika jabatan sangat dijunjung tinggi. Tidak akan pernah terjadi seorang pejabat Swiss menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi. Pejabat Swiss juga tidak akan minta fasilitas berlebihan. Pernah seorang pejabat senior mundur hanya karena memberi tahu suaminya bahwa polisi akan menuju kantornya, padahal saat itu sang suami akan diminta keterangan dalam suatu perkara.

Tindakan ini sudah dianggap melanggar tatanan sehingga pejabat tadi harus mundur. Tidak perlu sampai demo besar-besaran untuk menggusur pejabat yang curang atau melakukan tindakan tidak pantas.

Lantaran tidak disediakan perumahan oleh pemerintah, umumnya para menteri di Swiss harus menyewa apartemen atau kamar hotel untuk tempat tinggalnya selama di Bern, jika dia orang yang bukan berasal dari Bern atau daerah sekitarnya. Ongkos sewa itu dari kantongnya sendiri, bukan dari biaya dinas yang dikeluarkan departemen yang dipimpinnya.

Moritz Leuenberger sewaktu menjabat sebagai Menteri Perhubungan dan Energi, dia nglaju tiap hari dari rumahnya di Zurich dengan naik KA ke Bern setiap hari. Meski menjabat menhub, dia juga bayar tiket abonemen KA tahunan yang mencapai hampir 3.000 CHF. Jadi, tidak ada yang aneh, kondektur KA SBB tiap hari ngecek tiket KA pak menteri. Biasa biasa saja. Kalau pak menteri lupa bawa tiket juga akan didenda seperti penumpang lainnya. Saya akan salut kalau itu juga terjadi di negara kita.

Swiss yang membanggakan dirinya dengan sistem yang disebut consensus democracy politisinya tidak akan pernah ngotot-ngototan untuk memenangkan pendapatnya. Semua bisa dibicarakan, semua bisa dimusyawarahkan.

Saya kira, dalam praktik, sesungguhnya Swiss itu mengamalkan demokrasi Pancasila, yang sarat musyawarah dan mufakat, yang sayangnya pada  zaman Orde Baru banyak diselewengkan. Terkadang saya berpikir, tampaknya sistem consensus democracy ini sangat cocok dengan bangsa kita yang sedang membangun sistem demokrasi yang baik. Saya kira prinsip, menang - menangan tidak dikenal dalam sistem politik di Swiss.

Dalam hal fasilitas, bukan hanya pihak eksekutif yang bersikap pragmatis dan apa adanya, pihak legislatif pun memberikan contoh yang baik, tanpa penuh keluhan. Tidak ada anggota dan apalagi pimpinan DPR yang berulang kali bicara di publik bahwa anggaran pihak eksekutif jauh lebih besar. Mereka maklum, pekerjaan DPR itu hanya legislasi, sedang eksekutif melaksanakan tugas kenegaraan. Wajar kalau anggarannya lebih banyak karena yang diurusi juga lebih banyak. Pemerintah pun jarang membangun gedung baru, begitu juga DPR-nya.

Gedung DPR Swiss, meski negara kaya raya, juga sangat kuno. Sudah bertahun-tahun mereka menempati gedung yang sama. Tidak ada ruang khusus bagi anggota DPR, artinya, anggota DPR hanya memiliki ruang sidang yang dipakai bersidang saja. Tidak ada kamar khusus untuk masing-masing anggota. Mereka juga tidak mempunyai sekretaris, sopir atau staf ahli.

Satu-satunya fasilitas adalah laptop dengan koneksi internet via Swisscomm. Dengan laptop ini mereka sudah bisa bekerja dengan hasil yang maksimal. Memang anggota DPR Swiss tidak gaptek. Mereka memanfaatkan laptop dan internet dengan maksimal. Sebelum masuk sidang, mereka bisa merampungkan draft RUU atau mencari data via internet dalam perjalanan KA ke Bern dari rumah atau daerah asalnya.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Orang Swiss sejak kecil sudah dididik untuk efisien dan bekerja dengan benar. Sebab mereka tahu, negaranya tidak mempunyai kekayaan apapun, kecuali air, gunung dan sumber daya manusianya.

Mereka sadar harus menggunakan sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya. Mereka tahu betul dari sejarah, lima puluh tahun yang lalu Swiss masih miskin. Bahkan ratusan tahun yang lalu untuk bisa hidup layak banyak warga Swiss yang harus menjadi tentara bayaran di negara tetangga. Salah satunya yang sisa - sisanya masih tertinggal ialah satuan Swiss Guard yang menjadi pengawal pribadi Paus di Vatican City.

Sikap tidak sok berkuasa dan mabuk fasilitas bagi pejabat karena juga ada semacam "kontrak sosial" antara pejabat dan rakyatnya. Misalnya saja seorang anggota DPR, jika sebelumnya dikenal hidup bersahaja, tetapi begitu jadi pejabat mendadak kaya raya dan sering keluar negeri untuk ``studi banding``, hampir bisa dipastikan dia akan segera lengser dari jabatannya.

Masyarakat Swiss tidak akan mentoleransi adanya pemborosan di kalangan pejabatnya, sebab mereka tidak sudi pajak yang mereka bayarkan digunakan untuk hal yang tidak ada gunanya. Saya kira kita tidak perlu malu belajar dari mereka. (***)


Penulis bisa dihubungi di thedjokosusilo@gmail.com and twitter @thedjokosusilo

Oleh Djoko Susilo
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011