Jakarta (ANTARA) - Saat kunjungan kerja Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken ke Indonesia pada 13-14 Desember 2021, Indonesia dan AS mencapai sejumlah kesepakatan yang tertuang dalam tiga nota kesepahaman (MoU).

Ketiga MoU tersebut adalah di bidang maritim, pendidikan dan "Peace Corps Program" yang digagas AS untuk meningkatkan hubungan antarmasyarakat (people-to-people contact).

Tiga MoU tersebut mencerminkan penguatan kerja sama bilateral kedua negara sekaligus tindak lanjut dari pembicaraan antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden RI Joko Widodo di Glasgow pada November 2021.

Khusus untuk kerja sama maritim, MoU itu memperpanjang kesepakatan yang sudah dicapai sebelumnya sehingga berlaku sampai 2026, antara lain mencakup kerja sama keamanan maritim, sumber daya kelautan, konservasi dan pengelolaan perikanan, serta keselamatan dan navigasi maritim.

"Di wilayah ini di mana begitu banyak hal terjadi di laut … dan pada saat kritis ketika krisis iklim mengancam jalur air, pesisir, dan kehidupan laut, kerja sama di bidang maritim menjadi lebih penting dari sebelumnya," kata Menlu AS Antony Blinken di di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri Jakarta, Selasa (14/12).

Kesepakatan tersebut secara tidak langsung juga menunjukkan komitmen AS untuk meningkatkan keamanan di kawasan Indo-Pasifik bersama para sekutunya.

"Amerika Serikat mengakui bahwa sebagian besar masa depan planet kita akan berada di Indo-Pasifik. Komitmen abadi kami untuk kawasan ini dan kolaborasi kami dengan para sekutu dan mitra kami akan membantu mencapai kawasan yang bebas dan terbuka, saling terhubung, sejahtera, tangguh, dan aman untuk semua," ungkap Blinken dalam pidatonya yang disampaikan di Universitas Indonesia, Depok, Selasa.

Menlu Blinken menyebut bahwa AS punya kepentingan agar kawasan Indo-Pasifik menjadi kawasan yang bebas dan terbuka.

Kerja sama maritim
Sesungguhnya, bukan AS saja yang memiliki kerja sama di bidang maritim dengan Indonesia. Salah satu negara yang juga punya kerja sama erat dengan Indonesia di bidang kemaritiman adalah Korea Selatan (Korsel)

Pada 14 September 2021 adalah tepat tiga tahun kerja sama Korea-Indonesia MTCRC (Marine Technology Cooperation Research Center).

Korea-Indonesia MTCRC merupakan pusat penelitian bersama antar pemerintah Korea dan Indonesia di bidang ilmu dan teknologi kelautan. Lembaga tersebut dibuat untuk memperkuat dan mempromosikan kerjasama praktis di bidang ilmu dan teknologi kelautan antara Korea dan Indonesia, seperti proyek penelitian bersama dan program peningkatan kapasitas.

Awal terbentuknya Indonesia MTCRC adalah pada 2011 saat Indonesia dan Korsel melihat potensi kolaborasi dan penelitian di bidang kemaritiman.

Dalam lima tahun selanjutnya dilakukan penelitian bersama antara Korea Institute of Ocean Science and Technology (KIOST) dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Barulah pada Mei 2016, kedua negara menandatangani MoU penelitian kemaritiman sehingga dua tahun berselang, MoU terwujud dalam pendirian Pusat Penelitian dan Kerjasama Teknologi Kelautan (PPKT) disusul dengan diresmikannya Korea-Indonesia MTCRC pada 2018.

MTRCR menjadi pusat penelitian bersama antara pemerintah Korea dan Indonesia di bidang teknologi kelautan untuk memperkuat dan mempromosikan kerja sama praktis di bidang ilmu dan teknologi kelautan, seperti proyek penelitian bersama dan program peningkatan kapasitas.

Direktur Korea-Indonesia Marine Technology Cooperaton Research Center Hansan Park dalam "workshop" Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama dengan Korea Foundation Jakarta mengatakan bahwa MTCRC memiliki sejumlah aktivitas.

Pertama, MTCRC menjadi wadah kemitraan kementerian, perguruan tinggi dan lembaga lainnya di bidang kemaritiman. Kedua, lembaga pelaksana penelitian bersama.

Sejumlah penelitian yang sudah dikerjakan, misalnya, adalah "Operational Oceanography Forecast System Development", "Optical Satellite Validation Station Establishment and Application", dan "Mid-long Term Plan of Korea Indonesia Marine Science and Technology Cooperation" untuk pengembangan konsep untuk proyek Official Development Assistance (ODA), serta ketiga, peningkatan kapasitas (capacity building).

MTCRC telah melakukan survei kelautan yang terdiri dari survei batimetri, data fisik oseanografi, studi dasar laut, dan data kualitas air. Survei batimetri dilakukan untuk mengukur kedalaman perairan yang akan dijadikan lokasi restorasi terumbu karang dan lokasi penenggelaman kapal perang.

Survei dasar laut dilakukan untuk mengetahui topografi dan profil dasar laut. Hasil survei tersebut berupa peta rekomendasi yang berisi informasi tentang kedalaman dan profil dasar laut.

Kedua, melakukan aksi bersih pantai yang dilakukam MTCRC bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, ITB, Korea Institute of Ocean Science and Technology (KIOST) Korea serta pemerintah daerah Cirebon pada 2019, menurut Park, dalam waktu kurang dari 1 jam, bahkan berhasil mengumpulkan sampah plastik sebanyak 908.48 kilogram.

Ketiga, MTCRC juga turun tangan dalam survei Indonesia Coral Reef Garden (ICRG) di Bali sampai membantu survei laut untuk mencari Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di Perairan Kepulauan Seribu pada Januari 2021 dengan kapal riset ARA.

Kapal ARA sendiri merupakan kapal yang dioperasikan oleh MTCRC yang digunakan untuk kegiatan penelitian dan eksplorasi kelautan. Kapal ini memiliki panjang 12 meter dengan kapasitas 12 orang termasuk awak kapal dan nakhoda.

"Indonesia memiliki tiga isu utama di bidang maritim, yaitu logistik, lingkungan, dan potensi perikanan. Terkait dengan logistik, kerja sama dapat dilakukan dengan mengoperasikan 'oceanography forecast system' dan penggunaan 'geostationary satellite'," tutur Park.

Apalagi Indonesia adalah negara kedua yang memiliki garis pantai terpanjang sehingga biaya logistiknya lebih tinggi dibanding Korsel sehingga penggunaan teknologi navigasi dapat memberikan efisiensi biaya logistik sekaligus menjaga keselamatan pelayaran.

Sementara di budi daya perikanan, Park menyebut potensi kerja sama dengan mengembangkan praktik Smart Aquaculture (akuakultur cerdas), meski Park mengakui bahwa praktik "illegal, unreporter, and unregulated (IUU) fishing" masih terjadi dan perlu ditindak.

Park menyebut penggunaan "monitoring vessel system" dan "remote sensing technology" dapat diterapkan untuk mengurangi penangkapan ikan ilegal.

Baca juga: Indonesia terpilih kembali anggota Dewan IMO 2022-2023

Baca juga: Menhub paparkan komitmen dan kontribusi RI di Sidang Majelis IMO


Kerja sama bidang maritim antara Indonesia dan Korsel bahkan diperkuat dengan kedatangan Menteri Samudera dan Perikanan Moon Seong-Hyeok ke Indonesia pada 13 Oktober 2021.

Saat Menteri Moon bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B. Pandjaitan, keduanya menyepakati MoU terkait Industri Jasa Instalasi Lepas Pantai. MoU tersebut juga ditandatangani oleh kelima perusahaan yang terkait dalam kerja sama ini, yaitu GasEntec dan Samin MTS dari Korea, serta Elnusa, GTSI, JSK Shipping dari Indonesia.

"MoU ini dapat menjadi dasar kerja sama antara Indonesia dan Korea untuk pembongkaran platform lepas pantai yang ditinggalkan. 'Platform' lepas pantai yang tidak terpakai akan digunakan untuk 'artificial coral reefs', akuakultur, wisata laut, dan pusat penelitian," ujar Luhut.

Empat isu yang dibahas dalam MoU tersebut adalah pengembangan teknologi terkait industri jasa instalasi lepas pantai, mendorong komunikasi dan kerja sama di sektor swasta, peningkatan kapasitas dan pengembangan sumber daya manusia, dan decommissioning (penutupan fasilitas dan pemulihan lingkungan anjungan migas) dan pemanfaatan kembali pabrik lepas pantai.

Kerja sama multilateral
Selain kerja sama bilateral dengan Amerika Serikat dan Korea Selatan, Indonesia juga secara aktif terlibat dalam kerja sama mulilateral di bidang maritim dengan menjadi anggota aktif di Dewan di Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization/IMO).

Indonesia pun kembali terpilih sebagai anggota IMO kategori C pada pemilihan yang berlangsung di Markas Besar IMO di London pada 10 Desember 2021.

Indonesia mendapatkan perolehan 127 suara dari 159 suara sah, dan akan menjabat sebagai anggota Dewan (IMO) untuk 2022- 2023.

Menurut Duta Besar Indonesia untuk Inggris Raya dan Irlandia sekaligus Wakil Tetap RI untuk IMO, Desra Percaya, keanggotaan Indonesia pada Dewan IMO sebagai badan eksekutif organisasi maritim dunia tersebut akan memberikan peluang lebih besar untuk terus memainkan peranan penting dalam dunia pelayaran.

Desra menegaskan bahwa terpilihnya Indonesia tidak lepas dari pengakuan masyarakat internasional terhadap peran aktif Indonesia di keamanan dan keselamatan pelayaran yang menjadi mandat IMO.

"Indonesia selama ini juga telah berperan aktif sebagai perintis dalam mendorong perlindungan pelaut melalui adopsi resolusi Majelis Umum PBB pertama terkait pelaut dan pengelolaan arus barang secara global (global supply chain) pada Desember tahun lalu," kata Desra.

IMO adalah badan khusus PBB yang berkantor pusat di London dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan pelayaran dan pencegahan pencemaran laut oleh kapal.

Dewan IMO merupakan organ eksekutif organisasi yang bertanggung jawab untuk mengawasi kerja dan kinerja organisasi, dan dipilih untuk jangka waktu dua tahun.

Terdapat 3 kategori Anggota Dewan IMO yaitu Kategori A, B, dan C. Anggota Dewan Kategori A merupakan 10 negara anggota dengan armada terbesar. Kategori B merupakan 10 negara lain dengan kepentingan terbesar dalam penggunaan jasa pelayaran, sementara kategori C adalah 20 negara yang tidak termasuk dalam anggota kategori A dan B, namun memiliki kepentingan khusus dimana pemilihannya akan memastikan keterwakilan semua wilayah dunia di IMO.

Pada Kategori A, terpilih 10 negara anggota yaitu Yunani, Korea Selatan, Jepang, Rusia, Italia, Panama, Inggris, China, Norwegia dan Amerika Serikat.

Baca juga: Erick Thohir: Indonesia memiliki potensi menjadi poros maritim dunia

Selain itu, pada Kategori B dikukuhkan 10 negara anggota, yaitu Uni Emirat Arab, Spanyol, Kanada, Prancis, Brazil, Jerman, India, Belanda, Australia, dan Swedia.

Sementara negara-negara Kategori C selain Indonesia adalah Bahama, Belgia, Chile, Siprus, Denmark, Mesir, Jamaika, Kenya, Malaysia, Malta, Meksiko, Maroko, Filipina, Qatar, Arab Saudi, Singapura, Thailand, Turki dan Vanuatu.

Indonesia, sebagai negara yang memiliki kawasan perairan luas memang memelurkan kerja sama maritim demi membangun kekuatan maritim yang memadai. Dengan penguatan tersebut maka Indonesia dapat memastikan tidak terjadi pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak asing baik di laut teritorial maupun di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021