Tak ada satupun negara di dunia berpenduduk besar yang pemerintahnya menyerahkan urusan pangan kepada pasar, sedangkan di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya, kata Dillon.
Jakarta (ANTARA News)- Pengamat pertanian HS. Dillon menyatakan, kenaikan harga beras yang terjadi akhir-akhir ini merupakan permainan para kartel yang sudah terjadi sejak bertahun-tahun. "Kartel besar ada di balik semua ini. Pedagang-pedagang besar yang memiliki kekuatan menentukan harga beras," katanya di Jakarta, Jumat. Lelaki keturunan India itu menyatakan, permainan kartel perdagangan beras tersebut juga melibatkan birokrat maupun instansi tertentu sehingga mereka mendapatkan keuntungan dengan tingginya harga beras. Menurut dia, Bulog selaku instansi yang diberi kewenangan untuk mengontrol harga beras di pasar pada kenyataannya tidak mampu melakukan fungsinya tersebut dan akhirnya harga diserahkan ke pasar. Padahal, tambahnya, tak ada satupun negara di dunia berpenduduk besar yang pemerintahnya menyerahkan urusan pangan kepada pasar, sedangkan di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya. Mantan pejabat di lingkungan Deptan itu menyayangkan kebijakan pemerintah yang menjadikan Bulog sebagai Perusahaan Umum (Perum) sehingga peran lembaga tersebut untuk melindungi rakyat kecil berubah sebagai lembaga pencari keuntungan. Dillon mengakui, kenaikan harga beras saat ini bisa dijadikan sebagai legitimasi pihak tertentu seperti Bulog maupun para pedagang untuk mengimpor beras dari luar negeri. Sementara itu menyinggung impor beras hanya untuk memenuhi kebutuhan bagi program bantuan beras untuk rakyat miskin (Raskin), dia menyatakan, seharusnya hal itu dilakukan dengan membeli beras dari petani dalam negeri bukan membeli dari petani negara lain. Selain Bulog, tambahnya, peranan Koperasi Unit Desa (KUD) maupun koperasi pada umumnya yang seharusnya menunjukkan keberpihakan kepada rakyat kecil termasuk petani justru turut menjadi pemain dalam perdagangan beras. "Seharusnya pemerintah melakukan tindakan tegas terhadap para pemain yang merugikan negara ini," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006