Saat ini kondisi keempat lelaki yang melakukan aksi mogok makan dengan menjahit mulutnya terlihat sangat buruk, tubuh mereka tampak sangat lemah karena sudah 20 hari tidak makan dan minum.
Jakarta (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa mogok makan dan menjahit mulut untuk menuntut sesuatu hingga menimbulkan kematian adalah hal yang dilarang oleh Islam karena termasuk kategori bunuh diri. "Kalau tuntutannya tidak wajar tidak perlu sampai seperti itu, tetapi kalau tuntutan itu wajar, pemerintah yang harus mencegahnya dan segera memenuhi tuntutan itu," kata Ketua MUI Ma`ruf Amin yang dihubungi di Jakarta, Selasa. Menurut kyai yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI itu, semuanya seharusnya dikembalikan kepada aturan dan kepatutannya, jika aturan dan kepatutannya memang harus memberi ganti rugi maka pemerintah berkewajiban mengganti. Menurut dia, warga yang berada di bawah instalasi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) memiliki resiko tertentu, karena itu sudah seharusnya pemerintah yang menggunakan lahan masyarakat itu merelokasi mereka ke tempat yang tidak lagi "berbahaya". "Kalau memang kehidupan masyarakat menjadi berbahaya karena SUTET itu, PLN harus membeli tanah masyarakat itu sehingga masyarakat bisa mencari lahan lain yang tidak membahayakan dirinya," kata Ma`ruf. Sebelumnya, Manisa (50) dan Saodah (32) bergabung dalam aksi mogok makan dengan menjahit mulut untuk menuntut ganti rugi sebagai pihak yang dirugikan oleh adanya SUTET di tempat tinggalnya. Mereka mengikuti aksi yang sebelumnya sudah dilakukan empat lelaki sejak 27 Desember 2005 yakni warga Sumedang bernama Tarman (54), Romli (39) asal Bogor, Nurdin (42) warga Rancaekek dan Jajang (39) asal Cianjur. Koordinator aksi Mustar Bona Ventura menyatakan, kedua ibu rumah tangga tersebut telah berbulat hati untuk melaksanakan aksi mogok makan sampai pemerintah dan PT PLN memperhatikan tuntutan mereka dan memberikan ganti rugi kepada korban SUTET. "Sebelum dijahit mulutnya, baik ibu Saodah maupun Manisa telah menyatakan siap mengikuti aksi walau sampai mati. Mereka juga rela meninggalkan keluarganya," kata Mustar. Saat ini kondisi keempat lelaki yang melakukan aksi mogok makan dengan menjahit mulutnya terlihat sangat buruk, tubuh mereka tampak sangat lemah karena sudah 20 hari tidak makan dan minum. Mustar menjelaskan sudah semestinya Permentamben tahun 1992 yang meniadakan pemberian ganti rugi bagi warga yang tinggal di bawah SUTET segera dicabut dan agar negara kembali mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan Indonesia yang memberikan hak ganti rugi bagi warga yang tinggal di bawah SUTET. Saat ini sedikitnya 149 desa berada di kawasan SUTET di sepanjang jalur instalasi listrik Jawa-Bali sepanjang 2.200km yang perlu menjadi perhatian pemerintah.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006