New York (ANTARA News) - Indonesia masuk dalam urutan ke-10 dalam daftar negara yang kelompok minoritasnya mengalami diskriminasi atau tekanan dari pemerintah atau kelompok mayoritas. Dalam daftar yang dibuat Lembaga Non Pemerintah (NGO) Minority Right Group International (MRGI) dalam bentuk buku berjudul "State of the World`s Minorities 2006" disebutkan sejumlah kasus terkait dengan tekanan terhadap kelompok minoritas. "Kasus-kasus di Papua menjadi salah satu sorotan kami karena masih adanya tekanan atau diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan para pimpinan suku," kata Mark Lattimer, Direktur Eksekutif MRGI, seusai acara peluncuran buku tersebut di Markas PBB New York, Kamis. Dia juga melihat masih ada sisa-sisa dendam antara warga asli dan warga pendatang. Seperti di ibukota Jayapura yang mendominasi pendatang dari Jawa dan Madura, yang juga mendominasi perekonomian di kota tersebut. Otonomi khusus memang telah diberlakukan Pemerintah Pusat kepada Papua, namun menurut dia, penerapannya tidak seluas seperti di Aceh. Lattimer menyarankan pendekatan yang dilakukan di Aceh, termasuk dalam penyelesaian masalah separatis, juga dilakukan untuk Papua. Dalam laporan berdasarkan event selama tahun 2004-2005 itu juga dicatat sejumlah kemajuan di Indonesia. Di antaranya dalam soal diskriminasi terhadap kelompok etnis China. Kini pada KTP warga keturunan China di Indonesia tidak lagi harus ada tanda khusus, yang sebelumnya merupakan bentuk diskriminasi birokrasi. Dalam MRGI, Irak menempati urutan pertama dalam daftar ancaman terhadap minoritas. Urutan selanjutnya adalah Sudan, Somalia, Afghanistan, Myanmar, Republik Demokrasi Kongo, Nigeria, Burundi, dan Angola. Di bawah Indonesia terdapat Pantai Gading, Uganda, Ethiophia, Rusia dan Filipina. Menurut Lattimer, banyak kelompok minoritas di sejumlah negara yang menjadi korban karena tindakan kelompok lain yang mengatas-namakan "perang melawan teror". Sementara itu, Staf Ahli PBB untuk isu minoritas, Gay McDougal mengatakan bahwa kasus tekanan terhadap kelompok minoritas bukan hanya yang terkait dengan tindakan kekerasan. "Namun juga dalam hal kesempatan yang sama dalam menggali potensi yang mereka miliki, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat," kata McDougal. (*)

Copyright © ANTARA 2006