Jakarta, (ANTARA News) - Seluruh kawasan hutan di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) seharusnya ditetapkan status pengamanan siaga satu, sebab kerusakan hutan Aceh sudah sangat parah akibat maraknya penebangan tutupan hutan (deforestasi). "Semakin meningkatnya praktik penebangan hutan yang terjadi di Aceh, mengakibatkan ratusan hektare hutan dalam kondisi rusak parah, sehingga harus menetapkan status keamanan siaga satu," kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi di Jakarta, Kamis (26/1). Dia mengatakan, kerusakan hutan selama dua tahun terakhir mencapai lebih dari 350 ribu hektare atau setara dengan lima kali lipat luas daratan Singapura. Bahkan, diperkirakan satu tahun ke depan luas kerusakan hutan akan mencapai 2,2 juta hektare, atau setara 44 persen dari total luas daratan Aceh. Menurut dia, praktik penebangan tutupan hutan terjadi hampir di seluruh kawasan hutan di Aceh, mulai dari kawasan Rawasingkir, Aceh Jaya, dan sepanjang Pantai Selatan hingga Pantai Utara kondisi ekologinya semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan Greenomics, praktik penebangan liar yang berlangsung selama bertahun-tahun tersebut, telah menelan kerugian sekitar 2,73 triliun per tahun, dan sebanyak 60 persen praktik penebangan liar terjadi di kawasan konservasi dan hutan lindung. Sejauh ini, lanjut dia, ada sepuluh daerah di Aceh yang mengalami tingkat kerusakan akibat penebangan tutupan hutan dan penurunan kerapatan hutan sangat tinggi, sehingga memerlukan perhatian dan penanganan serius dari pihak-pihak berwenang. Sepuluh daerah tersebut adalah, Aceh Tengah, Aceh Barat Daya, Aceh Singkil, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Jaya, Gayo Luwes, Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Timur. "Sudah saatnya Dephut dan pihak-pihak terkait lainnya, untuk lebih serius memperhatikan kondisi menangani kondisi ekologi hutan dengan mengambil tindakan dan kebijakan preventif yang cepat dan tepat untuk memberantas praktik penebangan liar yang terusa meningkat," ujarnya.(*)

Copyright © ANTARA 2006