setelah masuknya ajaran agama Islam, kegiatan ini lebih dikenal sebagai `sadranan` karena digelar setiap menjelang bulan puasa,"
Banyumas (ANTARA News) - Ribuan warga penganut Kejawen dari berbagai wilayah di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah, Jumat, menggelar tradisi "unggahan" atau "nyadran" di Makam Bonokeling, Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas.

Dalam tradisi tersebut, para penganut Kejawen wajib mengenakan pakaian adat Jawa, yakni perempuan hanya memakai "kemben" (kain jarit, red.) dengan selendang warna putih, sedangkan pria berkain jarit atau sarung serta menggunakan "iket" (ikat kepala, red.).

Sebelum berziarah, mereka tampak membasuh muka, tangan, dan kaki yang gerakannya seperti cara berwudlu yang dilakukan umat Islam.

Tradisi ini tidak sekadar untuk berziarah, tetapi juga membersihkan lingkungan makam serta memperbaiki sejumlah bangunan makam yang mengalami kerusakan.

Selain itu, mereka juga menggelar "pisowanan" (pertemuan, red.) dengan juru kunci makam di Bale Agung yang dilanjutkan kenduri di Bale Mangun di kompleks Makam Bonokeling.

Makanan yang disantap dalam kenduri tersebut dimasak oleh kaum pria di sekitar kompleks Makam Bonokeling.

Secara terpisah, juru bicara Makam Bonokeling Sumitro (51) mengatakan bahan makanan yang dimasak tersebut dibawa oleh para peziarah dari kampung halaman mereka.

Menurut dia, para peziarah dari berbagai daerah tersebut tiba di Desa Pekuncen sejak Kamis (21/7) untuk mengikuti kegiatan "muji" (semacam zikir, red.) sebagai wujud permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Mahaesa, yang digelar pada Jumat dinihari mulai pukul 00.00 WIB hingga 04.00 WIB.

Pada Jumat pagi hingga siang hari, kata dia, para penganut Kejawen ini menggelar ziarah di Makam Bonokeling.

"Untuk berziarah ke Makam Bonokeling wajib mengenakan busana Jawa. Ini merupakan bentuk penghormatan bagi leluhur Bonokeling," katanya.

Menurut dia, tradisi "unggahan" atau "nyadran/sadran" ini digelar setiap Jumat terakhir di bulan Ruwah (Syaban).

"Awalnya, tradisi `unggahan` ini digelar setiap menjelang musim tanam pada bulan Ruwah. Namun setelah masuknya ajaran agama Islam, kegiatan ini lebih dikenal sebagai `sadranan` karena digelar setiap menjelang bulan puasa," kata dia menjelaskan.

Informasi yang dihimpun, tradisi yang telah dilaksanakan sejak puluhan tahun silam ini diawali dengan kegiatan mengumpulkan perbekalan berupa bahan makanan di "pasamuan" (rumah adat, red.) di masing-masing desa para penganut Kejawen pada Rabu (20/7).

Keesokan harinya (Kamis, red.), perbekalan tersebut mereka bawa dengan berjalan kaki secara berombongan dari "pasamuan" menuju Makam Bonokeling di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas.

Dalam perjalanan dari "pasamuan" menuju Makam Bonokeling, mereka pun wajib mengenakan busana adat Jawa, untuk kaum perempuan mengenakan kain jarit dan berkebaya, sedangkan kaum pria berpakaian serba hitam serta menggunakan ikat kepala dengan kain jarit atau sarung yang melilit di pinggangnya.

Kendati demikian, hingga saat ini belum diketahui secara pasti siapa sebenarnya sosok Bonokeling yang dimakamkan di Desa Pekuncen.

Konon, hanya para sesepuh atau tetua adat Bonokeling yang mengetahui siapa sejatinya sosok Bonokeling.

Akan tetapi mereka tidak boleh menceritakannya kepada masyarakat umum.

Masyarakat hanya mengetahui bahwa Bonokeling merupakan sosok yang berasal dari Kadipaten Pasir Luhur yang berada di bawah Kerajaan Padjajaran atau Galuh-Kawali. (ANTARA)

(U.KR-SMT/B/M028/M028) 22-07-2011 15:34:34

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011