Jakarta (ANTARA News) - Setelah berhasil mencapai rekor Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertinggi dalam waktu enam belas bulan terakhir sejak minggu keempat Juni 2011 pada tingkat 3.948,85 dan berlanjut meningkat pada minggu pertama Juli 2011 menembus batas IHSG 4.100 pada minggu kedua, kemudian melaju pada minggu ketiga Juli 2011 mendekati angka 4.200 akhirnya IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada awal Agustus 2011 tumbang kembali pada tingkat 3.921,64.

Catatan Lembaga Kajian Informasi atas fluktuasi IHSG BEI pada keseluruhan transaksi perdagangan  sejak April, Mei dan Juni serta dilanjutkan akhir Juli dan awal Agustus 2011 memberikan gambaran bahwa kenaikan atau penguatan IHSG sejak April, Mei dan Juni serta Juli 2011 terjadi secara bertahap-tahap (gradual) melalui proses akumulasi peningkatan IHSG yang eskalatif.  

Dengan fakta indikatif penguatan IHSG di lantai bursa Jakarta yang demikian memberikan pula gambaran bahwasanya penguatan IHSG tidak terjadi pada penguatan semu yang disebut sebagai buble economy (ekonomi gelembung) yang sewaktu-waktu bisa mengundang terjadinya crash (jatuh) atau sudden reversal (situasi pembalikan yang tiba-tiba).

Arus masuk modal (capital inflow)  ke pasar saham-modal di BEI sejak pertengahan Mei sampai minggu keempat Juli 2011 merupakan langkah relokasi penempatan modal investor dari zona AS dan Eropa berlangsung dinamis tidak melompat tetapi secara bertahap-tahap mencari pasar yang aman bagi pergerakan modal mereka karena kecenderungan ekonomi dan keuangan di AS dan Eropa yang kurang menjanjikan keuntungan, Zona Asia termasuk BEI dianggap sebagai tempat parker modal yang untuk sementara aman.  

Penguatan atau peningkatan IHSG BEI tersebut secara faktual dan nyata ditunjang dengan beberapa faktor penyangga penguatan IHSG yang merupakan faktor fundamental yang mampu mendorong pertumbuhan dan perkembangan kinerja dan karakter pasar modal Indonesia yang sesungguhnya.

Faktor penyangga penguatan IHSG BEI itu, antara lain adanya tingkat Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI Rate) pada tingkat 6,75 % yang relatif cukup kompetetif dan berlaku bagi Surat Berharga Negara (SBN) atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan juga Surat Perbendaharaan Negara (SPN).

Faktor penyangga penguatan IHSG BEI lainnya adalah dicapainya angka kecukupan cadangan devisa negara yang pada posisi Juni-Juli telah mencapai jumlah lebih dari 120 miliar dolar Amerika Serikat (AS), dan dianggap sebagai rasio kecukupan cadangan devisa negara yang mampu  untuk membayar surat berharga yang jatuh tempo atau dapat mengatasi aksi jual massal, pembalikan tiba-tiba dan juga quick-switching serta profit taking pelaku pasar modal.

Penguatan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS juga berpengaruh pada penguatan IHSG BEI sejauh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih pada kisaran di bawah Rp8.600, tapi di atas Rp8.500 per dolar AS pada periode kuartal I dan II/2011.

Neraca pembayaran Indonesia pada posisi kuartal I-2011 dengan peningkatan angka ekspor non-migas senilai 37,8 % merupakan fakta indikatif yang mampu mendongkrak kredibilitas kinerja pasar modal Indonesia  serta pembuktian terhadap para pelaku pasar bahwa pasar modal Indonesia merupakan pasar modal yang potensial dengan prospek profit yang menjanjikan.

Rekor tertinggi.

Anggapan bahwa pencapaian rekor tertinggi IHSG BEI perlu diwaspadai dalam konteks mengantisipasi kemungkinan penguatan semu atau berkarakter buble economy sebenarnnya tidak perlu dimunculkan karena pada hakekatnya pencapaian rekor tertinggi IHSG-nya pada periode April, Mei, Juni dan Juli 2011 (meskipun kini sedang pada posisi menurun atau terkoreksi) merupakan bukti nyata produktivitas kinerja Pasar Modal Indonesia yang oleh Asian Development Bank (ADB) pada pekan lalu dinilai sebagai Pasar Modal Terbaik di lingkup Asia dengan angka penguatan sebesar 7,4 %.  

Sementara itu, Assessment ADB menyebut, Pasar Modal di Thailand berada pada urutan Pasar Modal Terbaik kedua di Asia dengan angka penguatan saham sebesar 5,4 % dan Pasar Modal Korea Selatan sebagai pasar Modal Terbaik di urutan ketiga dengan capaian angka penguatan saham sebesar 5,3 %.

Atau dengan kata lain, penurunan IHSG BEI pada sesi perdagangan akhir pekan lalu sebesar lebih dari 200 poin atau 4,86 % belum dapat disebut sebagai crash karena lebih tepat disebut sebagai koreksi masif akibat adanya kecenderungan aksi ambil untung para investor yang secara seasonal dilakukan pada periode Juli-Agustus setiap tahun.

Hanya saja secara kebetulan rekor IHSG pada periode Juli sedang di puncak rekor tertingginya dan para investor, situasi nilai saham tertinggi merupakan momentum yang paling tepat untuk melakukan aksi jual untuk memperoleh keuntungan tertinggi.

Beberapa saham perbankan yang masih menguat di lantai bursa pekan lalu, seperti Bank Mandiri dan Bank Central Asia (BCA) dengan laporan keuangan tahunan per Juli 2011 membukukan angka profit dengan nilai trilyunan rupiah oleh para investor dianggap sebagai pertanda baik untuk melepas saham Mandiri dan BCA untuk meraih profit. Sementara itu, Bank Permata juga membukukan profit tahunan dalam jumlah ratusan milyar rupiah.

Belum terdapat indicator yang mengarah pada situasi crash bagi IHSG BEI atau “pecahnya gelembung” karena indikator menunjukkan ketika indeks Dow Jones mengalami kenaikan 85 poin (0,6%) dan membawa sentimen positif bagi semua pergerakan indeks harga saham di seluruh dunia, khususnya AS, Eropa dan Asia.  IHSG BEI justru mengalami penurunan senilai 13,20 poin (0,31%) pada tingkat 4.180,24 di sesi Selasa siang pekan lalu dari posisi Senin pada tingkat 4.193,44.

Pada sesi perdagangan Senin  1 Agustus 2011 IHSG BEI pada tingkat 4,193,44. Pada Selasa (2/8) pada tingkat 4.177,85, Rabu (3/8) pada tingkat 4.136,51, Kamis (4/8) pada tingkat 4.122,09 dan pada Jumat (5/8) pada tingkat 3.921,64 (hampir sama dengan tingkat IHSG pada periode minggu ketiga Juni 2011).

Situasi gelembung (buble) yang mengarah pada ketidakmampuan otoritas BEI untuk merespons aksi jual atau ambil untung pelaku pasar dan gagal bayar imbal hasil atas surat utang negara/surat berharga yang sudah due date (jatuh tempo) sejauh ini tidak atau belum pernah terjadi karena otoritas keuangan RI memiliki jumlah cadangan devisa negara berjumlah lebih dari 120 miliar dolar AS merupakan jaminan bagi pasar bahwa pertumbuhan pasar modal Indonesia aman dan bebas dari buble serta mampu merespon sudden reversal atau koreksi masif.

Beberapa catatan yang bisa diambil dari pergerakan dinamis di lantai BEI Jakarta pada periode pra dan pasca-pencapaian rekor IHSG BEI tertinggi adalah pertama pencapaian kinerja pasar modal-saham Indonesia pada kuartal ke II 2011 April-Mei-Juni mampu mengantar naik atau penguatan indeks secara bertahap, tapi pasti mencapai rekor tertingginya selama 16 bulan terakhir.

Situasi pencapaian tersebut sekaligus mematahkan prediksi dari para analis dan pelaku pasar saham-modal yang bersikap pesimistis dan muncul dengan kecenderungan keraguan pelaku pasar untuk tidak melakukan aksi beli karena melihat dan menanti perkembangan krisis keuangan di Yunani yang menjalar ke negara-negara lain di Eropa seperti Irlandia, Portugal, bahkan Italia dan Spanyol.

Hal kedua, koreksi masif di BEI Jakarta pada tingkat IHSG senilai 3.921,64 Jumat pekan lalu atau sama dengan posisi pada tingkat IHSG menjelang tembus rekor tertinggi pada minggu ketiga 2011 nampaknya lebih banyak disebabkan tindakan “profit taking” ketimbang sentimen negatif dari situasi fluktuasi saham global di AS dan Eropa.

Aksi ambil untung yang nyaris serempak oleh investor dilakukan karena telah memasuki “musim jual” Juli-Agustus 2011 terjadi bersamaan momentumnya dengan datangnya fenomena sentimen negatif dari pasar global dan bisa saja memiliki sedikit dampak negative terhadap penurunan IHSG dalam jangka pendek. Namun, hal tersebut masih memerlukan pembuktian dari pihak Bapepam dan BEI untuk meneliti seberapa jauh dari satu persatu pergerakan dinamis semua saham perusahaan yang listed.  

Pada saham yang masih mengalami penguatan maka selintas sentimen negatif tidak terlalu berdampak, tetapi pada saham yang mengalami penurunan-pelemahan masih dapat memunculkan dua asumsi. Pertama, saham melemah akibat aksi jual serempat (koreksi masif). Asumsi kedua, ada sentimen negatif sesaat yang masih perlu diverifikasi dengan indikator-indikator yang lebih terukur.

Oleh karena itu, bagaimana pun semua pihak perlu mengapresiasi sikap cepat dan antisipatif pemerintah dalam merespon situasi anjloknya IHSG BEI selama pertama Agustus 2011. Imbauan agar pelaku pasar dan masyarakat tidak panik nampaknya cukup beralasan karena penguatan rezim selama kuartal ke II 2011 dan Juli 2011 telah menunjukkan produktivitas dan kinerja pasar modal Indonesia berkualitas yang ditopang oleh beberapa faktor penyangga penguatan secara fundamental.

Resesi  di AS dan sebagian negara Eropa seperti halnya krisis di AS 2008 harus dianggap sebagai peluang untuk meraih keuntungan secara rasional dan maksimal. (*)

*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi, Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), dan Analis Senior Intelijen Bisnis.

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011