Jakarta (ANTARA News) - "Mastodon dan Burung Kondor" karya WS Rendra kembali dipentaskan oleh isteri almarhum bersama teman-temannya di Taman Ismail Marzuki pada 11-14 Agustus 2011 pukul 20.30 WIB.

Ken Zuraida, sutradara pementasan tersebut, di Jakarta, Rabu mengatakan, karya penyair tersebut masih relevan dengan kondisi saat ini, disamping pengajaran dalam pementasan tersebut perlu terus dikumandangkan.

Penyair sekaligus aktor yang berjulukkan "Si Burung Merak" itu kerap mendapat penghargaan. Mastodon dan Burung Kondor adalah masterpiece yang ditulisnya dalam rentang tahun 1971-1973.

Naskah itu pertama kali dipentaskan oleh Bengkel Teater Rendra pada 1973 di tiga tempat, yakni 24 November di Sport Hall Kridosono Yogyakarta, 7 Desember di Gedung Merdeka Bandung, dan 15 Desember di Istora Senayan.

Pementasan tersebut sempat tidak mendapatkan izin karena dianggap kontroversial dan terlalu keras menyinggung kekuasaan pemerintah.

Secara eksplisit naskah ini menceritakan sebuah pergulatan sosial politik di Amerika Latin yang sedang didera kontrarevolusi.

Pemerintah yang berkuasa adalah pemerintahan tentara yang terlalu berambisi melakukan pembangunan, tapi semua itu dilakukan hanya demi upaya untuk mempertahankan kursi kekuasaan. Gerak laku penguasa yang membabi-buta itu yang selalu disebut sebagai gerak marah para mastodon.

Sementara, rakyat yang mendambakan hidup damai dalam kewajaran dan menderita akibat gelap matanya program kerja Pemerintah Mastodon yang mengatasnamakan pembangunan yang dimaknakan sebagai burung-burung kondor. Burung-burung kondor bersepakat menjalankan revolusi.

Mastodon dan Burung Kondor versi Ken Zuraida itu diproduseri oleh Totenk Mahdasi Tatang, Awan Sanwani, Angin Kamajaya, Maryam Supraba, Cahyo Harimurti, Iwan Burnani dan Padma Kuntjara.

Ken menjelaskan, pada setiap revolusi pada akhirnya akan melahirkan sikap yang fanatik atau ekstrim. Sikap ini niscaya kelak melahirkan mastodon-mastodon alias penindas-penindas baru.

"Pada setiap revolusi yang dimenangkan oleh kaum radikal yang fanatik, tak urung melahirkan lagi pemikiran mastodon. Begitu kira-kira rumusan yang tercetus dari penghayatan dan pendalaman pemikiran sang penyair," kata Ken yang juga isteri ketiga almarhum Rendra.

Dia berharap masyarakat selalu mempertahankan prinsip kebudayaan yang positif di tengah zaman yang modern.

Pementasan itu mendapatkan tanggapan yang positif terutama dari mahasiswa dan seniman yang rindu pada karya WS Rendra.

Rizki, mahasiswa semester keempat Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta, mengatakan Rendra memiliki gaya tersendiri dan tidak terpaku pada karya angkatan 45, angkatan 70 atau yang lainnya.

"Rendra memiliki kebebasan tersendiri dalam berkarya dan Mastodon masih relevan dengan kondisi pascareformasi di Indonesia saat ini," kata Rizki.

***6***

(T.PSO-272*E007/

(T.E007/B/M026/M026) 10-08-2011 19:50:57

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011