Palembang (ANTARA) - Daya dukung pelabuhan sungai, Pelabuhan Boom Baru di Palembang dianggap sudah tak mampu untuk memenuhi kebutuhan Provinsi Sumatera Selatan, terutama untuk kegiatan ekspor.

Kehadiran pelabuhan laut dalam dinilai mendesak bagi daerah penghasil komoditas ekspor batu bara, minyak sawit, dan karet itu.

Namun untuk mewujudkannya bukan perkara mudah walau cita-cita ini sudah didengungkan sejak era tahun 90-an. Bermula dengan menempatkan lokasinya di Tanjung Api-Api, Kabupaten Banyuasin.

Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan dirinya tetap bersemangat untuk mewujudkan pelabuhan laut tersebut, karena ini menjadi jalan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi daerah.

Hadirnya pelabuhan laut ini dianggap menjadi pemecah persoalan yang selama ini dihadapi Sumsel, yakni selalu berkutat pada pertumbuhan ekonomi di angka 5,0 persen walau memiliki kandungan Sumber Daya Alam berlimpah.

“Kami sangat serius untuk merealisasikannya walau banyak rintangan. Kami terus mempelajari kegagalan-kegagalan terdahulu, agar tidak terulang lagi,” kata Herman Deru di Palembang, Jumat (18/2).

Dukungan untuk memiliki pelabuhan laut dalam ini sebenarnya sudah disampaikan Presiden Joko Widodo yang memberikan target agar proyek tersebut bisa melakukan groud breaking pada akhir tahun 2021.

Namun, lantaran belum menuntaskan persoalan legalitas lahan membuat rencana tersebut terpaksa ditunda.

Walau demikian, Sumsel sedikit tersenyum lebar lantaran proyek tersebut sudah masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh pemerintah pusat.

Sejauh ini, Pemprov Sumsel sudah menuntaskan beragam persoalan prinsip untuk pembangunan pelabuhan laut internasional itu, seperti ketersediaan lahan, akses jalan, kedalaman laut hingga lokasi dermaga.

Ke depan, yang menjadi perhatian dari pemerintah yakni mengenai ketersediaan dana pembangunannya.

“Bisa konsorsium dari dalam negeri dan investor dari luar negeri. Ini akan dikaji,” kata gubernur.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada awal tahun 2022 saat berkunjung ke Palembang mengatakan pemerintah pusat sudah memberikan arahan terkait pendanaan proyek pelabuhan internasional tersebut.

Pembangunan pelabuhan itu akan menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang melibatkan investor swasta, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Pemerintah pusat terus mendorong agar pelabuhan samudera ini terwujud yang nantinya diharapkan menjadi gerbang ekspor Sumsel.

Sejauh ini Investor asal China Shanxi International Economic & Technical Cooperative Co Ltd tertarik untuk menanamkan modal pada pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel).

General Manager of Shanxi InternationalEconomic & Technical Co Ltd Indonesia Jason Hang setelah mengunjungi kawasan Tanjung Carat, mengatakan pelabuhan ini memiliki lokasi yang sangat strategis sehingga perusahaan menilai layak masuk dalam rencana ekspansi bisnis.

Jason mengaku ketertarikan perusahaannya untuk berinvestasi di Pelabuhan Tanjung Carat juga didorong adanya sumber daya alam (SDA) yang berlimpah di Sumsel, di antaranya getah karet, kelapa sawit, batu bara, minyak bumi dan gas.

Lokasi pelabuhan laut dalam sebelumnya bukan diproyeksi di Tanjung Carat tapi di Tanjung Api-Api, yang areanya relatif berdampingan.

Pemindahan ini terkait dengan studi kedalaman laut, yang membuat kesimpulan bahwa Tanjung Carat itu lebih representatif bagi kapal-kapal berukuran besar.

Karena adanya perubahan, maka KEK TAA dipindahkan ke KEK Tanjung Carat agar berdampingan dengan Pelabuhan Laut Tanjung Carat.

Terkait ini Presiden Jokowi sudah mencabut status Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api.

Pendangkalan sungai

Kepala Samudera Indonesia Cabang Palembang Iwan Simangunsong mengatakan permintaan ekspor terhadap komoditas asal Sumsel terutama chrome rubber (karet) terbilang tinggi. Bahkan pihaknya kini menjajaki kerja sama untuk pengiriman ekspor arang dan batok kelapa.
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (14/1/2022). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)


Hingga kini, walau di tengah pandemi, perusahaan melayani pengiriman chrome rubber (karet) ke Singapura menggunakan satu unit kapal berkapasitas 6.000 ton atau rata-rata membawa 250 TEUs.

Samudera Indonesia Cabang Palembang sejauh ini menggunakan satu unit kapal kontainer untuk mendukung kegiatan ekspor karet di Sumsel. Bahan setengah jadi berupa karet dalam bentuk lembaran itu dikirimkan ke Singapura untuk kemudian dikirim ke Amerika Serikat hingga ke sejumlah negara di Eropa oleh perusahaan lain.

Dalam satu bulan, perusahaan tersebut melakukan kegiatan ekspedisi ke Singapura sebanyak lima kali, dan proses bongkar muat dilakukan di Pelabuhan Boom Baru Palembang.

Indonesian National Shipowners' Association (INSA) atau Asosiasi Pemilik Pelayaran Nasional Indonesia Provinsi Sumatera Selatan berharap Pelabuhan Tanjung Carat itu segera terealisasi.

“Tak henti-henti kami berharap agar Sumsel ini segera memiliki pelabuhan laut,” kata Sekretaris INSA Sumsel Suandi.

Hingga kini pelaku pelayaran masih dihadapkan persoalan pendangkalan sungai di beberapa titik.

Sejak 2015 hingga kini pemerintah tak pernah melakukan kegiatan pengerukan sungai karena tidak ada mata anggarannya di APBN.

INSA juga sempat menyuarakan ini saat pertemuan dengan anggota DPRD Sumsel beberapa waktu dulu. “Bisa dikatakan tak ada tindak lanjut hingga kini,” kata dia.

Lantaran kondisi tersebut, mau tak mau pelaku bisnis pelayaran tetap mengoptimalkan Pelabuhan Boom Baru Palembang.

Di saat musim hujan ini relatif tidak ada masalah karena muka air sungai terbilang tinggi, jadi bisa dilalui kapal. Yang jadi masalah nanti saat musim kemarau, kata dia.

Dengan begitu, daya saing Sumsel sebagai daerah penghasil komoditas karet, baru bara, minyak sawit, kopi, bungkil, kelapa dan lainnya akan meningkat karena kapal yang bisa sandar merupakan jenis kapal berukuran besar.

General Manager PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Regional 2 Palembang Imam Rahmiyadi mengatakan hingga kini Pelabuhan Boom Baru yang merupakan pelabuhan sungai masih dihadapkan persoalan pendangkalan alur pelayaran.

“Alur sungai hingga masih jadi persoalan di Boom Baru, ini terkait draft (sarat air kapal),” kata Imam.

Sejauh ini pihaknya telah berdiskusi dengan beberapa regulator terkait adanya pendangkalan alur Sungai Musi di beberapa titik.

Walau alur Sungai Musi hingga kini masih bisa dilalui kapal peti kemas atau kapal non peti kemas dengan syarat dilalui pada jam tertentu (saat air pasang), tapi keberadaan pelabuhan laut sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi Sumsel.

Direksi Pelindo sangat mendukung program pemerintah pusat bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk membangun Pelabuhan Tanjung Carat, yang sejauh ini sudah masuk Proyek Strategis Nasional.

Infrastruktur ini sangat penting mengingat Sumsel memiliki Sumber Daya Alam berlimpah yang menjadi komoditas ekspor, seperti karet, minyak sawit, bungkil, kelapa, pupuk, kopi dan lainnya.

Berkurangnya daya dukung alur Sungai Musi untuk pelayaran kapal juga sebelumnya dikeluhkan oleh PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) dan PT Pertamina.

Jika persoalan pendangkalan sungai tersebut tidak ditemukan solusinya, Pusri bakal bermasalah dengan logistik, mengingat sejak beberapa tahun terakhir terjadi penurunan volume ekspor.

Ini berkaitan dengan ukuran draf kapal angkut di Sungai Musi yang semakin terbatas. Semula bobot kapal 10.000 DWT, kini hanya 5.000-6.000 DWT untuk sekali perjalanan.

Kondisi ini menjadi salah satu perhatian Pusri di tengah rencana pembangunan Pabrik Pusri IIIB pada 2021.

Persoalan ini juga menggerogoti Pertamina yang memiliki Kilang RU III Plaju Palembang yang mana kilang ini memanfaatkan alur sungai untuk mendapatkan suplai bahan baku dan mengirimkan BBM ke daerah lain.

Bagi Pertamina, kehadiran pelabuhan laut dalam di Sumsel sangat diharapkan karena Kilang RU III dalam pengembangan Green Refinery yang ditargetkan beroperasi pada 2024 dengan kapasitas 20 MBSD (Thousand barel per steam day).

Kilang ini diharapkan menghasilkan produk-produk ramah lingkungan, di antaranya Green Diesel, Green Avtur, Green Naphtha, dan Green LPG.

Pengamat ekonomi asal Universitas Sriwijaya (Unsri) Didik Susetyo mengatakan kebutuhan pelabuhan ini bukan hanya untuk memudahkan kegiatan ekspor impor bagi Sumsel tapi yang lebih mendasar lagi yakni untuk mewujudkan hilirisasi komoditas.

Sejak lama Sumsel menargetkan hilirisasi beragam produk dari batu bara, minyak sawit dan karet sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah demi kesejahteraan masyarakat.

“Hingga kini, tak satu pun pabrik ban berdiri di Sumsel, padahal daerah ini memproduksi sekitar 1 juta ton karet per tahun,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Unsri ini.

Belum adanya pelabuhan laut membuat para investor kemudian mengurungkan niatnya untuk membangun pabrik pengolahan di Sumsel, sehingga lebih memilih daerah-daerah lain di Tanah Air yang menawarkan infrastruktur lebih memadai.

Padahal adanya serapan dalam negeri tersebut dapat menjadi solusi atas anjloknya harga karet di tingkat petani. Jika sudah ada pabrik ban sendiri maka petani tidak lagi tergantung dengan pasar ekspor.

Tak mempunyai pelabuhan laut itu juga membuat Sumsel kehilangan potensi lain karena komoditas seperti kopi terpaksa diekspor melalui pelabuhan daerah lain, seperti Pelabuhan Panjang, Lampung.

Belum lagi, dari sektor batu bara karena kendala infrastruktur ini membuat Sumsel hanya mampu mengekspor sekitar 50 juta ton per tahun dari cadangan sebanyak 22,5 miliar ton.

“Pelabuhan tak disangkal menjadi infrastruktur yang paling dibutuhkan saat ini di Sumsel. Jika tidak ada, pertumbuhan ekonomi akan begitu-begitu saja,” kata Didik.

Pada 1821, setelah Belanda berhasil menguasai Palembang dibangun pelabuhan di depan Benteng Kuto Besak atau sekarang dikenal Bek Ang Kodam II Sriwijaya atau Boom Jati.

Kemudian pada 1941, dilakukan pemindahan letak lebih ke hilir sungai, yaitu kawasan Sungai Rendang, atau masyarakat Sumsel mengenalnya sebagai Gudang Garam. Lalu dipindahkan lagi lokasi pelabuhan tersebut antara Sungai Lawang Kidul dan Sungai Belabak, yang kini disebut Pelabuhan Boom Baru.

Dari sejarah tersebut dapat diambil intisari bahwa keberadaan pelabuhan itu sebenarnya menyesuaikan dan mengikuti kebutuhan ekonomi suatu daerah.
 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2022