Apa ya jadi umat Islam itu harus minta-minta sumbangan dengan cara begitu –cara-cara yang tidak profesional dan tanpa prinsip transparansi dan akuntabilitas?
Jakarta (ANTARA News) - Hidup ini kalau nggak memberi yang diberi. Maka, kalau engkau pelit dan kikir, itu hanya merugikan dirimu sendiri. Ketika engkau tidak pernah “memberi”, maka engkau tidak akan pernah “diberi”.
Agama mengajarkan tangan di atas lebih baik ketimbang di bawah. 

Bahwa memberi itu dianjurkan, khususnya bagi yang tak mampu. Sudah banyak penjelasan ustad, ulama, kiai, tentang keajaiban sedekah, juga zakat dan infak.

Sekarang ini banyak lembaga zakat, infak, dan sedekah yang beroperasi secara profesional. Bulan puasa ini di mal-mal, mereka membuka gerai: para pengunjung yang mau beramal silakan. Di beberapa perkantoran ramai, mereka juga proaktif.

Cara-cara profesional ini, terkesan memang jauh lebih elegan ketimbang mbak-mbak atau mas-mas yang beredar ke sana ke mari dengan selembar ketikan yang tersimpan dalam stopmap yang isinya adalah legitimasi bahwa lembaganya, entah yayasan pembangunan masjid, entah rumah yatim piatu, sedang membutuhkan sumbangan.

Cara-cara profesional itu, juga beda kelasnya dengan memasang bendera di jalan dan beberapa orang duduk di sekitarnya sambil membawa jaring: tetapi bukan untuk menjala ikan, melainkan tempat bagi siapa saja yang lewat melemparkan uang ke situ. Tak lupa, lantunan ayat-ayat kursi diperdengarkan, kalau nggak lantunan lagu-lagu kosidah.

***
Dulu, ketika saya masih kecil, di desa saya kedatangan dua orang Madura. Mereka datang ke rumah, setelah dari rumah-rumah tetangga saya lainnya, dan diterima Bapak. Dua orang dengan aksen khas itu menyodorkan tembakau. Ayah saya perokok, mungkin tertarik.

Tapi persoalannya bukan jual beli tembakau. Mereka menyodorkan secarik kertas berisi keterangan bahwa mereka adalah dua pemuda utusan pembangunan sebuah masjid di suatu tempat entah dimana di Madura.

Tembakau itu boleh dibeli, tetapi kalau tidak berkenan, maka silakan nyumbang seikhlasnya. Saya lupa apakah Bapak membeli tembakau itu atau tidak tetapi, ada pertanyaan yang menarik dari Bapak saya: “Kalau sampeyan jauh-jauh datang dari Madura dengan alasan nyari sumbangan membangun masjid, lalu, ongkos jalan, ongkos makan, diambil dari mana?”

Mereka menjawab kompak: “Ya dari sini pak, uang sumbangan ini!”.

“Kalau seandainya nanti sampeyan balik ke Madura dan ternyata uang untuk membangun masjid tak tersisa karena habis buat ongkos jalan, ongkos makan, dan lain-lain, terus bagaimana?”

“Ya ndak masalah Pak!”

Saya tidak tahu apakah Bapak membeli tembakau itu, sekedar menyumbang saja, atau tidak memberinya apa-apa sama sekali –kecuali nasihat-nasihat. Tetapi adegan itu menempel di ingatan saya bahwa: begitu uniknya “orang Islam” minta sumbangan.

Kelak saya banyak mendapat cerita-cerita bahwa di Mekkah dan Madinah pun banyak jamaah yang minta sumbangan. Suatu ketika seorang pemuda yang mengaku dari Bangladesh menghampiri saya di halaman Masjid Nabawi, dan setelah basa-basi ia terang-terangan minta sumbangan. Katanya untuk bertahan hidup di sana.

Ternyata, kisah “dua pendekar pengembara” dari Madura tadi, hanya satu variasi saja dari sekian yang lain yang intinya sama: minta sumbangan dengan alasan agama.

Variasi meminta sumbangan atau sedekah yang kurang elegan, kadang membuat saya, mungkin juga Anda, “malu”. Apa ya jadi umat Islam itu harus minta-minta sumbangan dengan cara begitu –cara-cara yang tidak profesional dan tanpa prinsip transparansi dan akuntabilitas?

Belakangan bahkan kita sering dengar berita, bahwa gerakan keagamaan yang ekstrem telah mengerahkan kadernya yang telah dicuci otak untuk mengumpulkan dana perjuangan dengan segala cara, termasuk dengan cara-cara meminta sumbangan yang tak elegan.

Mereka perlu diwaspadai. Waspadai juga kalau aktivitas pengumpulan dana umat yang hanya untuk memperkaya ustadnya atau kiainya: bagaimana mungkin potensi sumberdaya ekonomi umat dimanipulasi sedemikian rupa untuk memperkaya diri?

***
Dalam satu cerita pendek (cerpen) Ahmad Tohari, dikisahkan soal adanya tamu peminta sumbangan ke rumah kita: menyodorkan secarik kertas pembangunan masjid atau bantuan yatim piatu.

Dari percakapan verifikatif, kita curiga dengan kepalsuan peminta sumbangan itu. Tetapi, dalam kisah itu, akhirnya kita tetap kasih sumbangan sekedarnya, dengan ikhlas dan disertai doa agar mereka tak melakukan lagi trik-trik seperti itu. Kisah itu dilengkapi dengan gambaran tentang dilema: apakah kita harus kasih uang ke penipu?

Kita, dalam cerpen Tohari, tahu bahwa telah tertipu: tetapi tetapi ikhlas saja.

Dulu Cak Nun (Emha) pernah berujar soal pendekatan akhlak dan fikih. Kalau kau ketemu pengemis di emperan Malioboro itu, maka secara fikih kita tak wajib memberi dan kita tak harus merasa berdosa karena nggak memberi.
Tapi kalau perspektifnya akhlak, maka tanpa menimbang-nimbang lagi: pengemis itu kita kasih. Tak perlu lagi kita mempertimbangkan misalnya: kebiasaan memberi pengemis itu tidak mendidik atau hanya akan menyuburkan penyakit sosial.

***
Aktivitas keagamaan memang perlu sumbangan. Sewaktu SMP saya pernah ditugasi oleh panitia hari besar keagamaan, minta sumbangan ke tetangga-tetangga. Karena penduduk desa saya tidak semua “punya uang”, maka bentuk sumbangan tak selalu uang, tetapi “contongan” alias nasi bungkus. Tentu saja tidak semua warga kami mintai sumbangan karena alasan sosial ekonomi. Walaupun kemudian banyak yang protes: kok kami tak dimintai sumbangan?

Peringatan Maulid Nabi, Nuzulul Qur’an dan sebagainya biasanya dilakukan dengan memanggil penceramah untuk memberikan ceramahnya. Di depan Masjid Jami desa kami, kursi-kursi sudah ditata sejak siang hari.

Semua itu para remaja dan pemudanya yang proaktif. Jadwal aktivitas masjid juga tertata rapi: termasuk mengisi kolah atau bak tempat wudhu dari sumur timba di sebelahnya. Waktu itu belum ada “sanyo” alias mesin penyedot air di desa kami. Bahkan listrik pun belum juga.

Ramadan gini, masjid itu semarak saat sore hari: anak-anak muda bergegas dengan tugasnya nyapu, menggelar tikar, mengisi kolah, dan mengisi minyak lampu petromaks. Yang lain, menyemarakkan suasana dengan main bola voli di halaman.

Menjelang beduk berbunyi, mereka bubar, mandi dan sebagainya dan bersiap ke masjid lagi. Malamnya kita semua “darusan” alias tadarus Al Qur’an. Suasana religius itu sangat menyentuh dan, terus-terang saya sangat rindu dengan yang demikian.

Saya masih ingat, bagaimana para orangtua menasihati kami agar tidak sombong, sebab sombong itu menghapus pahala, akhirnya kita malah nggak dapat apa-apa kecuali capek saja. Bahwa, janganlah kalau engkau nimba sumur ngisi kolah, sesumbar ke yang lain: tadi yang ngisi saya lho, kalau bukan saya…

Ngisi kolah saja tak boleh sesumbar: bahkan kalau perlu tak perlu ngomong ke siapapun bahwa kolah masjid telah kita isi dengan sepenuh tenaga dan keringat –walaupun penuhnya 100 ember lebih.

***
Maka, kalau engkau memberi: janganlah sesumbar. Janganlah disiar-siarkan bahwa engkau pahlawan. Engkau bukan politisi yang sedang kampanye bukan?

Dalam sebuah bukunya, pakar kepemimpinan John Adair berkisah tentang seorang lelaki suku Badui yang kurus dengan pakaian compang-camping serta senapan yang sudah rusak. Suaranya serak dan ia tentu saja ia sangat miskin dari ukuran materi.

Tetapi ia sangat dihormati. Sebelumnya ia sangat kaya punya banyak unta. Ia suka memberi dan menjamu tetamu. Digambarkan, setiap kali tamu datang disembelihkannya unta. Sampai-sampai unta-untanya habis. Kini ia tak punya apa-apa, tetapi semua orang tetap menghormatinya.

Tetapi, mari kita coba analisis: orang yang paham dengan kebaikannya memang akan hormat, bahwa orang itu punya prinsip dan tidak takut jatuh miskin karena kesenangannya memberi.

Tetapi, mungkin kita menyayangkan perilaku demikian sebagai sesuatu yang fatalis. Apalagi kalau pola pikir kita telah terkerangkai oleh mentalitas pragmatis, maka kita akan mengatakan bahwa tindakan orang Badui itu adalah amat sangat fatal.

Di kita, mungkin saking pragmatisnya kondisi: orang hanya dihargai sewaktu kaya dan menjabat. Setelah jabatan tak lagi lekat, orang-orang menjauh dan tak begitu menaruh hormat seperti dulu. Apalagi, kalau dia jatuh miskin.
Kita salah kalau hormat sama seseorang hanya karena pangkat dan jabatan atau tebal tipis kantongnya. Tapi kita selayaknya menghormati orang-orang yang teguh memegang prinsip –yang benar. (***)


*M Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta.

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011