G20 masih sering mengikuti saran G7,
Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Sipil (Civil 20/C20) Indonesia, dalam konteks Presidensi G20 RI pada tahun 2022 ini, mendorong langkah kebijakan reformasi perpajakan agar negara dapat menyediakan layanan publik yang baik.

“Kenapa C20 bicara soal pajak? Karena civil society melihat bahwa salah satu problem ketidakmampuan negara menyediakan layanan publik yang baik, hak-hak masyarakat secara baik itu selalu karena rendahnya atau kurangnya anggaran yang dimiliki pemerintah,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa dan Sherpa Civil 20 Indonesia Ah Maftuchan di sela-sela C20 meeting di Bali, Selasa.

Kunci untuk mendorong reformasi perpajakan, lanjut dia, adalah bagaimana pemerintah mampu untuk melakukan pemajakan terhadap mereka-mereka wajib pajak, khususnya kelompok super kaya.
Baca juga: Sri Mulyani: 2 pilar perpajakan internasional berlaku mulai tahun 2023

“Maupun korporasi yang selama ini sering kali melakukan kegiatan-kegiatan yang terindikasi penghindaran dan penyelewengan pajak, baik di level domestik maupun cross border countries,” ujar Ah Maftuchan.

Ia mengatakan G20 ini sangat strategis karena bisa mendorong perubahan lanskap kebijakan fiskal secara global. Namun, G20 belum kuat untuk memimpin perubahan kebijakan fiskal di level global.

“G20 masih sering mengikuti saran G7, misalnya G7 tahun lalu di Inggris sepakat untuk adanya pajak minimal untuk korporasi multinasional 15 persen. Menurut hemat kami 15 persen itu terlalu rendah, sehingga justru akan mengakibatkan negara-negara berkembang kehilangan potensi penerimaannya dari pajak-pajak korporasi multinasional yang beroperasi di negara-negara berkembang,” kata Maftuchan.
Baca juga: Bank Dunia: Pajak karbon sumber pendapatan potensial yang besar

C20, lanjut dia, ingin mendorong G20 untuk lebih berbicara, khususnya Indonesia karena presidensi, untuk mengajukan pajak minimum untuk korporasi sebesar 25 persen.

“Sehingga kita punya potensi peningkatan pendapatan yang lebih besar atas beroperasinya berbagai macam perusahaan multinasional di Indonesia dan negara berkembang,” kata dia.

Kedua, C20 ingin bahwa pemerintah atau G20 bekerja lebih cepat untuk reformasi pajak usaha-usaha digital, yang selama ini sangat jauh dari potensinya. Padahal kalau itu serius bisa meningkatkan penerimaan pajak.
Baca juga: Presidensi G20 perlu usulkan pembentukan komisi pajak internasional

“Kita tahu perusahaan-perusahaan digital raksasa asalnya dari negara maju, meskipun negara-negara maju juga sebenarnya dirugikan karena mereka melakukan praktik profit shifting. Caranya misalnya mereka menempatkan kantornya di negara suaka pajak, yang bahkan tarifnya bisa 0 persen,” kata Maftuchan .

Ia mengatakan reformasi perpajakan digital itu mencerminkan kepentingan bersama, tidak hanya kepentingan negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga negara maju.

“Amerika Serikat sendiri juga mengeluh, di pemerintahan Biden ini, bagaimana Amazon yang menggunakan resource pemerintah, pos, sistem delivery itu, tetapi bayar pajaknya minimal sekali,” kata dia.

Baca juga: G20: Kesepakatan pajak perusahaan global harus diterapkan tahun depan

Pewarta: Azis Kurmala
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2022