Medan (ANTARA News) - Sosiolog Universitas Sumatera Utara Prof Dr Badaruddin berpendapat, sejumlah masyarakat yang melaksanakan urbanisasi ke kota Medan, diduga salah satu penyebab terjadinya "warga miskin kota", dan menjadi beban bagi pemerintah daerah setempat.

"Kota Medan saat ini, terus didatangi warga dari berbagai pedesaan di Sumatera Utara untuk tujuan merubah nasib dan penghidupan yang lebih layak, namun akhirnya mereka terbentur, serta hidup terkatung-katung yang tidak tentu arah dan tujuan," katanya di Medan, Minggu

Warga yang hidup terlunta-lunta itu akhirnya tinggal dimana saja, inilah salah satu penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis (gepeng) yang terus "menjamur" di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Sumut).

Semakin terus meningkatnya gepeng setiap tahun di Kota Medan, tidak hanya menjadi beban bagi pemerintah di kota itu, tetapi juga sudah sangat meresahkan masyarakat di daerah tersebut.

"Aktivitas para gepeng itu, secara terang-terangan sudah mau memasuki perkantoran, rumah makan, hotel, masjid, dan tempat-tempat lainnya.Bahkan para gepeng yang beroperasi di persimpangan jalan, ada yang mencoba memaksa masyarakat untuk memberikan sumbangan," katanya.

Dia mengatakan, warga yang tidak mau memberikan bantuan berupa uang, maka para gepeng itu tidak segan-segan memaki dan mengeluarkan ucapan kotor terhadap masyarakat.

Selain itu, ada juga gepeng yang meludahi mobil masyarakat, karena tak diberi bantuan.Fenomena seperti ini, sering terjadi di persimpangan lampu merah di beberapa Jalan Protokol di Kota Medan.

"Praktik -praktik yang tidak terpuji seperti ini, tidak bisa terus dibiarkan, harus ditertibkan oleh pemerintah melalui Dinas Sosial maupun Satuan POlisi (Satpol) Pamong Praja (PP) Pemerintah Kota Medan," kata Guru besar Fakultas Ilmu Soial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) itu.

Selanjutnya Badaruddin mengatakan, dengan adanya pembangunan sektoral di pedesaan, diharapkan kegiatan urbanisasi ini dapat berkurang, sehingga Kota Medan yang juga sudah padat penduduknya, tidak begitu "sesak" untuk menampung pedatang baru ke kota itu.

"Wajah-wajah baru itu, tidak lagi bermunculan di Kota Medan, dengan demikian tidak begitu banyak warga yang miskin kota.Artinya warga yang tinggal di perkotaan yang dalam keadaan miskin dan menderita," katanya.

Menurut dia, perlunya pembangunan sektoral itu, salah satu daya tarik bagi warga untuk tidak meninggalkan desa sebagai tempat kelahiran mereka.

Warga tertarik untuk meninggalkan kampung halaman dan tempat kelahirannya itu, dan "hijrah" ke kota-kota besar, seperti Kota Medan, karena di daerahnya tidak ada lagi lapangan pekerjaaan.

Setelah adanya pembangunan sekotaral yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) maupun Pemerintah Kota di berbagai desa maupun kelurahan, masyarakat semakin betah dan tidak mau hidup di perkotaan.

Sebab, hidup di perkotaan yang dapat menjanjikan yanglebih baik seperti anggapan sebahagian orang, hanya tinggal "fameo" atau angan-angan belaka.

"Hidup di perkotaan itu penuh dengan persaingan, tantangan, cobaan, dan berbagai godaan.Jadi diperlukan ketrampilan, ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia (SDM) untuk bisa hidup di Kota Medan," katanya.


Bekerja Di Kota Gengsi

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, faktor utama yang menyebabkan urbanisasi ke Kota Medan, karena adanya pandangan bekerja di kota lebih bergengsi, di kota lebih gampang mencari pekerjaan, tidak ada lagi yang dapat dikerjakan di daerah asalnya, dan upaya mencari nafkah yang lebih baik.

Jumlah penduduk Kota Medan yang sampai saat ini diperkirakan 2,083 juta lebih, dan diproyeksikan mencapai 2,167 juta pada tahun-tahun berikutnya. (ANT/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011