Jakarta (ANTARA) - Chelsea boleh saja kehilangan Roman Abramovich, namun calon pemilik baru sudah antre melamar menjadi pengganti miliarder Rusia yang dijatuhi sanksi oleh Inggris itu.

Setelah konsorsium Todd Boehly, Hansjorg Wyss dan Jonathan Goldstein mengajukan tawaran Rp37,2 triliun dan raja properti Nick Candy mengajukan Rp46, triliun, kini ada penawar mengajukan angka lebih besar, sebelum pengajuan tawaran ditutup esok Jumat.

Adalah konsorsium Arab Saudi pimpinan Saudi Media Group yang muncul menembus dua penawar yang selama ini disebut calon kuat pemilik Chelsea.

Baca juga: Chelsea melaju ke perempat final setelah tekuk Lille 2-1

Konsorsium Saudi itu menulis angka Rp50,3 triliun untuk jumlah dana untuk mengakuisisi klub yang sementara menduduki peringkat ketiga klasemen Liga Premier dan lolos ke perempat final Liga Champions itu.

Angka Saudi Media itu Rp6 triliun lebih besar dari angka Nick Candy yang lima hari lalu telah bertemu dengan Marina Granovskaia dan Bruce Buck dari manajemen Chelsea.

Tetapi di bawah status sanksi Abramovich, adalah pemerintah Inggris yang menentukan kata akhir siapa pemilik Stamford Bridge berikutnya.

Selentingan kabar malah menyebut pemerintah Inggris condong kepada Saudi Media. Dan pemicunya adalah Menteri Olahraga Nigel Huddleston yang menyatakan hubungan Inggris dengan Arab Saudi "sungguh penting."

Pernyataan itu ditafsirkan sebagai lampu hijau untuk akuisisi kedua yang dilakukan entitas bisnis Saudi di Liga Premier setelah Dana Investasi Publik Arab Saudi (PIF) menguasai 80 persen saham Newcastle United akhir Oktober tahun lalu.

"Saudi Arabia adalah mitra penting Inggris dalam investasi, intelijen dan budaya," kata Huddleston seperti dikutip The Guardian. "Kita menyambut baik investasi Arab Saudi. Banyak lapangan kerja di Inggris yang tergantung kepada hubungan kita dengan Saudi."

Pernyataan Huddleston ini menjadi petunjuk ada persetujuan implisit untuk Saudi Media.

Saudi Media sendiri dipimpin seorang pengusaha Saudi dan penggemar berat The Blues yang pernah menimba ilmu di London, kota di mana Chelsea bermarkas. Namanya, Mohamed Alkhereiji.

Tetapi pemerintah Inggris khawatir konsorsium ini memiliki kaitan dengan pemerintah Saudi.

Inggris tak mau berurusan dengan rezim yang disebutnya memiliki catatan hak asasi manusia yang buruk, khususnya dalam kaitan kasus pembunuhan wartawan Jamal Kashoggi di Turki akhir tahun 2018.

Saudi Media menegaskan tidak memiliki kaitan dengan pemerintah Saudi dan juga dengan PIF yang pemilik Newcastle.

Baca juga: Tuchel puas Chelsea melaju ke perempat final Liga Champions


Bisa semakin perkasa

Namun ada laporan, Alkhereiji sering terlihat bersama Pangeran Mohammed bin Salman yang adalah penguasa de facto Saudi dan diduga intelijen Barat terlibat dalam pembunuhan Kashoggi.

Tetapi berpijak kepada pernyataan Nigel Huddleston, Saudi Media tampaknya bakal mulus melangkah. Bahkan bisa tak harus melalui uji kepatutan dan kelayakan pemilik dan manajemen baru klub Liga Premier seperti pernah terjadi pada Newcastle.

Direktur Kebijakan dan Hubungan Korporat Liga Premier Helen MacNamara sendiri jauh-jatuh hari sudah menyatakan tak ingin ada badan lain yang menguji layak tidaknya calon manajemen baru sebuah klub Liga Inggris.

Ketika Abramovich membeli Chelsea pada 2003 pun tak ada uji kepatutan dan kelayakan kepada pemilik dan direksi The Blues. Apalagi Liga Premier sudah memiliki panel independen guna mempertanggungjawabkan kebijakan liga.

Konklusi proses akuisisi Chelsea memang baru terlihat setelah tenggat 17 Maret, tetapi perkembangan terakhir ini bisa meredakan kegelisahan Chelsea, mulai pemain sampai penggemar.

Chelsea memang kehilangan pemilik kelas kakap berdedikasi dan berkomitmen tinggi, tapi pemilik kelas kakap lainnya segera mendatangi mereka.

Chelsea bahkan bisa saja lebih senang jika Saudi yang akhirnya menang. Bangkitnya Newcastle setelah separuh musim terpuruk di dasar klasemen, adalah bukti mujarabnya uang Saudi.

Baca juga: Konsorsium Arab Saudi ingin beli Chelsea

Bayangkan, ketika klub-klub lain irit berbelanja Januari lalu, Newcastle malah royal menggelontorkan dana ke pasar transfer. Lima pemain dibelinya Januari lalu, termasuk bek kanan Kieran Trippier dari Atletico Madrid.

Chelsea yang kaya dan perkasa, bisa semakin perkasa menghegemoni Inggris, Eropa dan dunia, jika investor Saudi yang menang.

Fakta menunjukkan, uang negara Teluk sering membuat yang kuat semakin kuat dan yang biasa-biasa menjadi luar biasa. Contohnya Uni Emirat Arab di Manchester City dan Qatar di Paris Saint Germain.

Langkah Saudi Media itu sendiri merepresentasikan manuver agresif Arab Saudi dalam menaklukkan olahraga kelas atas.

Memiliki tim olahraga seperti dilakukan PIF kepada Newcastle, adalah satu dari sekian langkah aktif Saudi turut menguasai olahraga level dunia.

Ini memang berkaitan citra, tapi ini juga bagian dari proyek ambisius Saudi menjadi negara yang tak lagi tergantung kepada minyak.

Selain aktif berinvestasi dalam sektor-sektor produksi, termasuk teknologi tinggi, Saudi belakangan agresif memutarkan uang di dunia olahraga.

Baca juga: Prahara Chelsea setelah Abramovich dijatuhi sanksi akibat invasi Rusia


Demi Visi 2030

Newscatle dan Chelsea dipastikan bukan yang terakhir. PIF kabarnya telah menawar Inter Milan di Italia dengan Rp14,2 triliun.

Kalau keluarga Glazer di Manchester United, Stan Kroenka di Arsenal, dan lainnya, kelihatan mencari untung dari klub-klub yang dibelinya, maka investor Teluk, termasuk Saudi, tak terlalu peduli itu.

Lihat saja Paris Saint Germain dan Manchester City yang menolak proposal rakus Liga Super Eropa. Kedua klub juga tetap belanja pemain mahal ketika klub lain sekarat dicekik dampak finansial pandemi COVID-19.

Pun dengan Newcastle. Baru dua bulan dibeli, klub ini sudah menjadi klub berbelanja terbanyak di Eropa saat jendela transfer Januari lalu, dengan membenamkan dana Rp1,6 triliun atau dua kali lipat yang dibelanjakan Barcelona pada periode sama.

Keagresifan Arab Saudi tak cuma dalam memiliki klub-klub olahraga high profile.

Jauh sebelumnya, mereka aktif melakukan hal yang tak banyak dilakukan Qatar dan Uni Emirat Arab serta investor-investor global lainnya, yakni menjadi tuan rumah turnamen dan kompetisi global olahraga bergengsi tinggi.

Saudi sudah membenamkan dana paling sedikit 1,5 miliar dolar AS atau setara Rp21,4 triliun untuk menyelenggarakan acara-acara olahraga bergengsi di dunia.

Baca juga: Tuchel akui Chelsea berusaha berdamai atas distraksi sanksi Abramovich

Itu termasuk Rp857 miliar untuk Saudi Cup yang adalah pacuan kuda berhadiah terbanyak di dunia, sebesar Rp286 miliar.

Rp9,29 triliun lainnya berupa kontrak 10 tahun menyelenggarakan balapan Formula 1 yang sudah dimulai Desember tahun lalu di Jeddah.

Saudi juga telah mengikat kontrak tiga tahun dengan LaLiga Spanyol senilai Rp2,07 triliun, yang salah satunya membuat pesepak bola Saudi bisa dikontrak klub Spanyol dalam status pinjaman.

Sebenarnya masih banyak lagi, termasuk turnamen-turnamen besar tinju, gulat, snooker, golf, dan tenis. Saudi juga menjadi penyelenggara balapan bergengsi dunia, Reli Dakar, sejak 2020.

Dan semua itu dilakukan di bawah payung "Visi 2030” yang digagas Pangeran Mohammed bin Salman, dengan tujuan menciptakan olahraga dan dunia olahraga yang profesional yang bisa menyangga kemajuan dan modernisasi negara.

"Ini (investasi olahraga) tak hanya berpotensi menciptakan lapangan kerja bagi ribuan warga Saudi namun juga akan menaikkan kualitas hidup semua orang yang tinggal di negeri ini," kata Fahad Nazer dari kedutaan besar Saudi untuk AS seperti dikutip The Guardian.

Upaya Saudi memajukan sektor olah raga juga berpijak pada landasan historis. Sejak ribuan tahun lalu, menurut kedubes Saudi di Washington dalam lamannya, orang Saudi menyukai olahraga.

Kini yang mereka lakukan adalah membuat olahraga kian modern dan profesional yang dipandang juga sebagai industri dan kesempatan memajukan negara.

Baca juga: Pemerintah Inggris jatuhkan sanksi dan bekukan aset Roman Abramovic

Copyright © ANTARA 2022