Seluruh negara termasuk Indonesia harus memitigasi risiko terkait persoalan pangan ini.
Jakarta (ANTARA) -
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Mahfudz Siddiq meminta agar Pemerintah Indonesia melakukan mitigasi dampak perang Rusia-Ukraina di sektor pangan, mengingat perang kedua negara masih terus terjadi.
 
"Seluruh negara termasuk Indonesia harus memitigasi risiko terkait persoalan pangan ini, karena kelihatannya perang Rusia dan Ukraina belum akan berakhir dalam waktu dekat," ujar Mahfudz dalam Webinar Moya Institute bertajuk "Dampak Global Invasi Rusia ke Ukraina", secara daring, Jumat.
 
Persoalan pangan ini, ujar dia, sebenarnya telah terjadi selama dua tahun terakhir karena pandemi COVID-19, dan perang Rusia-Ukraina ini menjadi faktor tambahan bagi problem pangan dunia.
 
Menurut dia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan Indonesia untuk memitigasi dampak perang Rusia dan Ukraina bagi sektor pangan.
 
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah tingkat produksi pangan. Indonesia, kata Mahfudz, seharusnya mampu meningkatkan produksi pangan guna mengantisipasi perang Rusia dan Ukraina dalam jangka panjang.
 
"Kemudian hal kedua yang harus dipertimbangkan adalah diversifikasi pangan. Faktanya, kita justru masih mengalami persoalan terkait upaya diversifikasi pangan, contohnya terlihat dalam komoditas kedelai," ujar Mahfudz.
 
Dia pun mengingatkan beberapa hal lainnya harus dicermati adalah rantai distribusi pangan, mekanisme harga dan transparansi pasar, tingkat dependensi global di sektor perdagangan dan pasokan serta pengembangan teknologi pertanian.
 
Pada kesempatan yang sama, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Dr Mukhaer Pakkanna mengatakan invasi Rusia ke Ukraina membuat perekonomian Indonesia dihantui stagflasi.
 
Mukhaer menerangkan, stagflasi adalah suatu kondisi ketika pertumbuhan ekonomi lambat, pengangguran tinggi dan inflasi tinggi terjadi secara bersamaan.
 
"Ini adalah fenomena yang tidak wajar dan kontras dengan kontraksi atau resesi, yakni ketika pertumbuhan rendah, inflasi tinggi dan pengangguran tinggi," ujarnya pula.
 
Dia mencontohkan, Ukraina memasok 2,96 juta ton gandum atau setara 27 persen dari total gandum yang diimpor Indonesia. Maka, harga gandum akan naik seiring dengan invasi Rusia ke Ukraina, yang pastinya akan berdampak pada konsumsi masyarakat Indonesia.
 
"Dan Indonesia adalah negara pengonsumsi mi instan terbesar kedua di dunia, dengan total 12,6 miliar porsi pada 2020," katanya lagi.
 
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengungkapkan invasi Rusia ke Ukraina diklaim oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi sebagai penyebab dari kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng di Indonesia.
 
Hery pun meminta Pemerintah dan Mendag untuk tidak menyerah pada situasi global. Dia mendesak Mendag melakukan penanganan komprehensif untuk mengakhiri permasalahan minyak goreng di negeri ini.
 
"Saya pun mengkritik keras Mendag yang mengaku tak bisa apa-apa menghadapi mafia minyak goreng. Saya tegaskan pada beliau bahwa negara memiliki segenap perangkat yang seharusnya tidak boleh menyerah dalam melayani kebutuhan rakyat," katanya pula.
Baca juga: Pengamat: Presidensi G20 bisa progresif hentikan perang Rusia-Ukraina
Baca juga: Ketua DPD minta pemerintah menghadirkan kebijakan hadapi dampak perang

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022