Ada hal-hal yang belum mereka sepakati, sehingga membuat proyek ini lambat sekali majunya
Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT Borneo Alumina Indonesia Dante Sinaga mengatakan progres pembangunan smelter atau fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral alumina di Mempawah, Kalimantan Barat, baru mencapai 13,78 persen.

"Progres fisik sampai 28 Februari 2022 sebesar 13,78 persen," ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Senin.

Proyek pembangunan SGAR Mempawah itu ditandatangani pada 11 Januari 2020 dengan nilai proyek 831,5 juta dolar AS (tidak termasuk bunga selama konstruksi dan modal kerja). Namun, progres pembayaran saat ini hanya sebesar 15,95 persen.

SGAR Mempawah dengan kapasitas produksi satu juta ton per tahun itu ditargetkan beroperasi pada Juli 2023.

Dante menjelaskan ada dua hal yang menjadi kendala dan menyebabkan progres pembangunan smelter baru mencapai 13,78 persen

Kendala pertama, dispute atau perselisihan internal konsorsium antara Chalieco dengan PT Pembangunan Perumahan (Persero) atau PTPP terkait kontrak rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (EPC) yang hingga kini belum ada titik temu.

"Sampai saat ini final consortium agreement itu belum mereka tanda tangani. Ada hal-hal yang belum mereka sepakati, sehingga membuat proyek ini lambat sekali majunya," jelas Dante.

"Jadi sekarang yang dilakukan konsorsium EPC, yaitu Chalieco dan PTPP itu adalah sebatas down payment yang sudah kami bayarkan, yaitu sebesar 10 persen," tambahnya.

Kendala kedua, akibat tanah lunak di lokasi pengolahan limbah red mud. Menurut Dante, red mud merupakan limbah B3 sisa dari produk untuk refinery alumina yang mengandung kaustik soda.

Limbah itu utamanya mengandung besi yang membuatnya berwarna merah, lalu ada alumina sampai 20 persen, kemudian lumpur hingga pasir.

Dante mengungkapkan pihaknya sebagai owner sudah memberikan data investigasi tanah secukupnya saat proses penawaran proyek. Setelah konsorsium menang, mereka melakukan investigasi tanah secara lebih detail.

Data tanah yang semula dianggap bisa dikerjakan dengan dana yang cukup, ternyata tanahnya lunak karena ada gambut, sehingga mengakibatkan biaya yang harus dikeluarkan lebih besar.

"Karena itu, konsorsium meminta kepada owner untuk merelokasi lahan red mud ini ke lokasi yang cocok dan lebih keras, sehingga budget bisa terpenuhi," jelas Dante.

Berdasarkan hasil keputusan rapat dengar pendapat, Komisi VII DPR RI mendesak Borneo Alumina untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja konsorsium Chalieco dan PTPP selaku pelaksana proyek smelter alumina tersebut.

Parlemen juga meminta Dirut Inalum dan Dirut Antam untuk menyelesaikan dispute paling lambat 30 April 2022 dengan melibatkan aparatur penegak hukum (Kejaksaan Agung dan BPKP). Apabila permintaan ini tidak terselesaikan, maka Komisi VII DPR RI merekomendasikan untuk dilakukan terminasi kontrak.

Baca juga: Airlangga: Smelter Grade Alumina percepat hilirisasi bauksit
Baca juga: Presiden akan stop ekspor bahan mentah dengan risiko apapun
Baca juga: "Smelter" di Mempawah Kalbar hasilkan satu juta ton alumina per tahun

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022