Badung (ANTARA) - Industri farmasi nasional tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 10,81 persen selama masa pandemi COVID-19 pada tahun 2021 lalu.

"Kami merasa gembira karena industri farmasi tumbuh 10,81 persen selama tahun 2021, tentu berkat kerja sama pelaku farmasi dengan pemerintah. Kita berharap kerja sama terus berjalan agar bisa terus tumbuh lebih baik," ujar Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) F. Tirto Kusnadi saat Musyawarah Nasional (Munas) XVI GPFI di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Kamis.

Ia mengatakan, pada tahun 2021 nilai total yang dicatatkan industri farmasi nasional kurang lebih sebesar Rp90-95 triliun. Pertumbuhan sebesar 10,81 persen itu memperhatikan indikator penjualan yang dihitung lembaga yang kredibel.

Menurutnya, pertumbuhan industri farmasi di tahun 2021 terjadi karena di tahun sebelumnya pelaku industri farmasi belum mengetahui apa yang harus dilakukan saat menghadapi COVID-19.

Baca juga: Menko Luhut: Pandemi COVID-19 memaksa RI reformasi sektor kesehatan

"Di tahun 2020 kami tidak tahu apa yang harus dilakukan menghadapi pandemi, memasuki tahun 2021 kesehatan menjadi kebutuhan utama masyarakat,” katanya.

Tirto Kusnadi mengungkapkan,pihaknya yakin kondisi tersebut akan terus meningkat pada tahun 2022 seiring terus meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan.

"Sekarang orang lebih terdidik dan lebih tahu dalam menjaga kesehatan. COVID-19 ini ada sisi positifnya, di seluruh dunia merubah kebiasaan orang-orang," ungkapnya.

Disisi lain, ia menambahkan bahwa industri farmasi Indonesia masih mengalami tantangan terkait bahan baku obat-obatan. Obat-obatan memang diproduksi di dalam negeri, tapi bahan bakunya masih impor.

Baca juga: Kemenperin: Industri farmasi siap gunakan bahan baku obat dalam negeri

"Farmasi produk dalam negeri sudah mampu industri nasional bahan baku masih impor, lalau pemerintah mau bekerjasama dengan kita dan sudah menuju ke sana saya yakin hulu sampai hilir bisa dikuasai nasional," ujar Tirto Kusnadi.

Sementara itu, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Lucia Rizka Andalusia menjelaskan, di Indonesia memang sudah ada lebih dari 200 perusahaan yang bergerak di industri farmasi tapi bergerak di sektor pembuatan obat atau formulasi. Sedangkan bahan bakunya 90 persen masih diimpor.

"Saat pandemi kita sempat mengalami kelangkaan obat karena embargo (bahan baku) obat, transportasi juga tidak dapat dilakukan," katanya.

Karena itu, menurutnya untuk mewujudkan ketahanan farmasi harus mengembangkan industri bahan baku obat, paling tidak untuk memenuhi 10 molekul yang paling banyak digunakan di Indonesia. Sehingga pada masa pandemi tidak mengalami masalah yang sama.

Namun menurutnya untuk dapat membangun industri juga tidak mudah karena perlu feasibility bahan baku kimia dasar, yaitu bahan baku untuk membuat bahan baku obat. Itu yang harus diupayakan Kementerian Perindustrian. Selain itu, menurutnya bahan kimia dasar memiliki standar grade tertentu.

"Ini juga yang jadi tantangan, bagaimana bahan baku yang diproduksi harus terserap industri formulasi karena untuk terserap ada syarat-syaratnya," kata Rizka.

Pewarta: Naufal Fikri Yusuf
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022