Batam, (ANTARA News) - Tudingan Wakil Presiden Jusuf Kala bahwa lingkungan hidup di Batam semakin rusak kian terbukti dengan masih maraknya penambangan pasir ilegal yang diduga dibekingi pejabat. Salah satu areal penambangan dan pengerukan pasir yang setiap harinya menghasilkan sekitar 200-an truk berbagai ukuran itu, terjadi pada areal seluas 30 Ha lebih di kompleks Kampung Teluk Mata Ikan, Kecamatan Nongsa, ungkap beberapa aktivis LSM Pencinta Lingkungan Hidup di Batam, akhir pekan lalu. Kendati sudah mendapatkan protes dari banyak pihak dan bahkan dilarang oleh Pemerintah Kota, tetap saja kegiatan penambangan itu berlangsung yang mengancam kelestarian lingkungan alam maupun lingkungan budaya sekitar. Ancaman nyata dari kegiatan penambangan yang diduga tak dilengkapi izin resmi tersebut, ialah terganggunya daerah resapan air, juga kekhawatiran abrasi serta terciptanya areal endemi nyamuk malaria dan demam berdarah. Hal-hal ini juga yang telah sempat disorot Wapres Jusuf Kalla tatkala berkunjung ke Kota Batam beberapa waktu lalu. Sementara itu, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, usai meninjau sejumlah kawasan di Kota Batam, 2-3 Februari lalu menegaskan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Riau (Kepri) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Batam, Otorita Batam (OB) serta seluruh pengelola kawasan industri, seyogianya menjaga lingkungan yang ada. Sebab, menurut Presiden Yudhoyono, lingkungan yang kondusif memungkinkan kawasan industri Batam tetap atraktif bagi investor mancanegara. "Sayang sekali, banyak aparat di tingkat bawah ternyata mengabaikan apa yang jadi kebijakan atasannya. Bahkan demi keuntungan material sesaat, tega-teganya merusak tatanan lingkungan Kota Batam," kata para aktivis LSM, di antaranya Raden bin Hanafi, Jeffrey KW dan Ellias SMR. Mereka juga mengatakan, para pelaku terkesan bergaya `kebal hukum`. "Sebab, kendati sudah mendapat peringatan keras dari pihak Bapedalda Kota Batam, ternyata kegiatan penambangan berlangsung terus, memenuhi kebutuhan berbagai proyek properti dan lain-lain di Kota Batam dan sekitarnya," tukas mereka. Beberapa nama disebut terlibat memberi izin secara sepihak, di antaranya SS. Dia mengaku sebagai orang yang berhak memanfaatkan lahan seluas 30 Ha tersebut. Sedangkan pada tingkat operasional di lapangan, ditangani oknum GT. "Mereka inilah yang mendapat `backing`-an oknum pejabat atau legislatif itu," kata mereka. Kampung Tua Dari investigasi yang dilakukan ANTARA, pernah ada nota protes dari sejumlah lembaga dan warga kepada Pemkot Batam. Lalu, Pemkot Batam melalui Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) mengeluarkan surat peringatan yang melarang aktivitas penambangan dan pengerukan pasir tersebut, tetapi surat itu tidak efektif di lapangan. "Ada dugaan kuat, sejumlah pejabat dan anggota legislatif telah berkongsi dengan para pengusaha tertentu untuk mengeruk pasir, tanpa memperhitungkan kondisi lingkungan," tambah para aktivis itu lagi. Sementara itu, secara terpisah, Ellias SMR, 48, salah seorang aktivis dari Lembaga Pemberdayaan Pemuda dan Wilayah Pesisir (LPPWP) `Malesung` Provinsi Kepri, menyatakan keprihatinan mendalam, akibat tak terkendalinya pengerukan pasir di lahan dekat Kawasan Wisata Nongsa tersebut. "Kami yakin, sebagaimana pengalaman di tempat lain, para pelaku berani melakukan itu karena ada `backing`-an oknum pejabat tertentu. Buktinya, surat pemerintah melalui Bapedalda saja tak digubris," tukas Ellias. Para aktivis LSM ini pun sepakat merencanakan untuk melakukan `class action`, agar kegiatan penambangan yang nyata-nyata bisa merusakkan lingkungan alam maupun lingkungan budaya sekitar bisa dihentikan. "Sesuai Surat Keputusan Walikota Batam Nomor 105, kawasan ini masih berada dalam lingkungan budaya khas Kampung Tua yang harus dilestarikan. Jadi, kegiatan penambangan pasir secara tak terkendali ini bisa merusak pula lingkungan budaya, bukan cuma lingkungan alam sekitar," kata Ellias menyebut alasan mengapa mereka berniat memperkarakan masalah ini. Saat ini, demikian Ellias, situasi di sekitar lokasi penambangan betul-betul amburadul. Bahkan ketika Presiden Yudhoyono berkunjung ke Kawasan Wisata Nongsa, suasana kotor yang merupakan bekas lalu lalang lori, `dump truck` maupun trailer pengangkut pasir masih terlihat. "Kekotoran dan suasana amburadul itu juga yang menjadi salah satu pemandangan para turis ketika mendatangi Kawasan Wisata Nongsa. Jika tak ada tindakan lebih lanjut, situasi amburadul itu bakal semakin merusak lingkungan lebih luas, termasuk lingkungan budaya Kampung Tua `Teluk Mata Ikan`. Ini tak bisa dibiarkan," jelas Ellias.(*)

Copyright © ANTARA 2006