Makassar (ANTARA) - Pengamat ekonomi dari Universitas Hasanuddin Makassar, Prof Abdul Hamid Paddu menyatakan, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) satu persen dari semula 10 persen ke 11 persen yang akan diberlakukan pemerintah pada 1 April 2022, akan berpengaruh pada daya beli masyarakat.

"Sebenarnya ada dua sisi kalau pajak. Satu sisi kita lihat dalam bentuk pembangunan, itu dari sisi pemerintah, di sisi lain ada kemampuan membeli masyarakat," ujarnya saat dihubungi ANTARA, di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.

Menurut dia, di sisi pemerintah selama dua tahun pandemi COVID-19, terjadi defisit anggaran dan negara tentu butuh pembiayaan pembangunan termasuk infrastruktur serta kesehatan, sehingga tidak bisa menaikkan dan menarik pajak, serta berutang untuk keberlangsungan pembangunan tersebut.

"Karena situasinya pandemi dan ekonomi tidak jalan, terpaksa substitusinya adalah menggunakan utang," papar Guru Besar Unhas itu.

Namun saat ini, kata Hamid, situasi ekonomi sudah mulai membaik, sehingga pemerintah mulai bergerak untuk membiayai pembangunan, sehingga pilihan mengutang tidak dilakukan, tetapi menyesuaikan pajak dengan cara menaikkannya.


Baca juga: Ekonom: Sudah waktunya PPN dinaikkan

Memang sudah seharusnya pemerintah melakukan penyesuaian PPN itu tadi, tapi kata dia, diharapkan mengimbangi insentif pengurangan pajak yang sudah diberikan selama dua tahun. Tapi bila tetap memberi insentif, maka akan menambah utang lagi.

Selain itu, alasan pemerintah menaikkan PPN satu persen atas pertimbangan harus menutupi defisit yang ada. Tetapi, menutup defisit dengan cara berutang, sudah tidak bisa, sebab Undang-undang mengatur hanya memperbolehkan dua tahun setelah defisit di atas tiga persen dari APBN.

"Saya kira pemerintah sudah melihat, ini masuk kuartal pertama, (tiga bulan) bahwa ekonomi sudah mulai tergerak secara baik. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama saya kira positif baik. Maka pertimbangan PPN naik satu persen dan pajak lain termasuk cukai rokok dianggap sudah bisa memikul ekonomi masyarakat," tuturnya.

Kendati demikian, dari sisi masyarakat kenaikan pajak tersebut tentu berdampak. PPN sifatnya elastis dan sensitif karena berkaitan dengan barang-barang baik itu dipakai konsumsi maupun hasil produksi, apalagi di saat bersamaan sedang dilakukan pemulihan ekonomi.
Baca juga: Sri Mulyani: PPN tetap naik 1 April 2022, demi fondasi pajak yang kuat

Dampak kenaikan itu, lanjut Hamid dari dua sudut. Konsumen membeli barang untuk dipakai langsung, berarti biaya dikeluarkan bertambah, daya beli serta permintaan juga ikut menurun. Di sisi produsen, pengusaha, tentu barang produksi lebih mahal, meskipun pajak itu didorong ke pembeli.

"Imbasnya, inflasi bisa naik. Saat inflasi, harga barang termasuk minyak goreng kini di atas Rp50 ribu, itu bisa naik lagi, karena dikenakan PPN, kan masih mahal. Ini juga dikhawatirkan bisa mengerem ekonomi yang bisa menyebabkan gangguan penyerapan lapangan pekerjaan," ujarnya.


Baca juga: Pengamat: masa pemulihan ekonomi, PPN naik sebaiknya ditunda
Baca juga: Pengamat: Kenaikan tarif PPN diperlukan untuk konsolidasi fiskal

Baca juga: Kadin minta bahan pokok, pendidikan dan kesehatan tetap bebas PPN

Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2022