Indonesia perlu melakukan reformasi hukum, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Jakarta (ANTARA) - Indonesia darurat kekerasan seksual. Kasus yang marak diberitakan di berbagai media daring seolah menjadi peringatan bahwa tidak ada lagi tempat yang aman bagi siapa pun dari intaian kekerasan seksual.

Rumah tangga, perguruan tinggi, sekolah, bahkan tempat ibadah. Yang paling buruk adalah pelaku kekerasan seksual yang acap kali merupakan sosok terdekat dari korban. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tak dapat terelakkan.

Kabar baiknya, kehadiran Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah makin nyata sejak Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menunjukkan keseriusan mereka dalam mengakselerasi pembahasan RUU ini.

RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR sejak Rapat Paripurna Ke-13 DPR RI Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021—2022 menyetujui usulan tersebut pada tanggal 18 Januari 2022. Selanjutnya, rancangan undang-undang ini terus bergulir hingga saat ini menuju ke tahap rapat panitia kerja (panja).

Dari 500 daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TPKS, kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya, terdapat 300 DIM yang bersifat substansial. Panitia kerja akan membahas seluruh DIM dengan perinci guna menyempurnakan RUU TPKS.

Meskipun demikian, ketika memberi penjelasan, Willy mengingatkan bahwa masing-masing fraksi partai politik memiliki perjuangan politik mereka masing-masing.

Masing-masing fraksi, kata Willy, memiliki preferensi, konstituen, dan sikap politis yang harus dihormati dalam pembahasan RUU TPKS. Tidak terkecuali sikap kritis yang mempertanyakan konsep consent atau persetujuan korban dalam RUU TPKS.

Masukan kritis tersebut berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang khawatir dengan keberadaan frasa "tanpa persetujuan korban" dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). RUU PKS merupakan rancangan undang-undang yang mengatur tentang kekerasan seksual sebelum RUU TPKS. RUU ini gagal disetujui untuk disahkan oleh DPR.

Frasa "tanpa persetujuan korban" dinilai membingungkan, seolah "persetujuan korban" memperbolehkan hubungan seksual terjadi di antara pasangan yang belum terikat perkawinan.

Dengan demikian, keberadaan frasa "tanpa persetujuan korban" dalam RUU PKS dikhawatirkan dapat membuka pintu untuk mengizinkan adanya seks bebas di Indonesia.

Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani menyayangkan pandangan tersebut. Menurut Andy, justru konsep consent merupakan bagian penting dalam menentukan apakah suatu perbuatan tergolong ke dalam kekerasan seksual atau tidak.

Baca juga: Puan: RUU TPKS wujud komitmen Indonesia lindungi perempuan dan anak

Baca juga: Menteri PPPA: Perhatikan fisik anak untuk cegah kekerasan seksual



Konsep Consent

Menurut Andy Yentriyani, terdapat ruang yang harus dapat dibedakan secara tajam oleh para pembuat undang-undang. Perbedaan tersebut penting untuk menentukan apakah seseorang merupakan korban dari kekerasan seksual atau bukan.

Adapun yang dapat diatur oleh para pembuat undang-undang adalah mengenai keberadaan persetujuan seseorang untuk berhubungan seksual. Meskipun demikian, Andy menegaskan bahwa bukan berarti hubungan di luar perkawinan tidak menjadi keresahan sosial.

Perihal hubungan yang terjadi di luar perkawinan dapat diatur di ruang yang berbeda karena RUU TPKS fokus pada tindak pidana kekerasan seksual, bukan mengenai perilaku seksual secara keseluruhan.

Selaras dengan Andy Yentriyani, Guru Besar Antropologi Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto juga menyayangkan adanya miskonsepsi mengenai kata consent atau frasa "persetujuan korban" dalam RUU TPKS.

Suli menegaskan bahwa kata consent merupakan unsur yang penting dalam pengertian kekerasan seksual. Ketiadaan persetujuan atau consent dalam berhubungan seksual menandakan adanya unsur pemaksaan dalam melakukan hubungan.

Konsep consent, kata dia, juga telah dikenal secara luas, terutama di bidang kedokteran. Seorang pasien tidak dapat dioperasi apabila tidak terdapat persetujuan. Hal yang sama juga seharusnya berlaku dalam hubungan seksual.

Oleh karena itu, dia berharap konsep consent dapat dipahami oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya oleh para pembuat kebijakan sehingga RUU TPKS tidak lagi tersandung akibat pembahasan mengenai consent.

Akan tetapi, lanjut Suli, terdapat beberapa pengecualian consent atau persetujuan harus dikesampingkan. Pengecualian tersebut harus diterapkan ketika korban masih di bawah umur, sakit, tidak berdaya, rentan, tidur, cacat, dan lain sebagainya.

Ketika korban dengan kriteria tersebut memberikan persetujuan mereka untuk melakukan hubungan, terdapat kemungkinan bahwa mereka tidak berada di dalam kondisi yang sadar atau memahami dampak dari persetujuannya.

Sikap korban yang tidak menunjukkan perlawanan atau penolakan pun tidak dapat disimpulkan sebagai consent atau pemberian persetujuan. Sikap ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan relasi kuasa.

Pemaksaan dari individu yang memiliki kedudukan lebih kuat atau berkuasa terhadap yang tidak memiliki kuasa cenderung membuat korban menjadi bungkam dan tidak berani menyuarakan penolakan.

Bagi Suli, kekerasan seksual tidaklah terbatas pada kejahatan kesusilaan. Kekerasan seksual merupakan kejahatan kemanusiaan.

Baca juga: KPPPA dorong pelaku pemerkosaan anak asuh Balaraja dijerat UU 17/2016

Baca juga: Komnas Perempuan dukung penerapan Permendikbudristek soal PPKS



Reformasi Hukum

Suli memandang penting bagi Indonesia untuk melakukan reformasi hukum, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Di dalam KUHP, kekerasan seksual merupakan kejahatan kesusilaan dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pun menyulitkan korban kekerasan seksual untuk mencari keadilan.

Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Keharusan untuk menyediakan alat bukti inilah yang kemudian sering menjadi kendala bagi korban kekerasan seksual untuk menjalani proses hukum.

Oleh karena itu, harus ada reformasi hukum, baik mengubah persyaratan mengenai alat bukti apabila terkait dengan kasus kekerasan seksual maupun mengubah kekerasan seksual yang semula dinyatakan sebagai kejahatan kesusilaan menjadi kejahatan kemanusiaan.

Kekerasan seksual mengancam nyawa dan bahkan dapat menghilangkan nyawa korban. Kekerasan seksual juga mengakibatkan kecacatan, trauma panjang, hingga memungkinkan korban untuk kehilangan masa depan mereka.

Untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan ini, hukum negara harus melindungi warga negaranya dan menjawab seluruh kebutuhan korban guna mendukung pemenuhan hak mereka. Dalam hal ini, RUU TPKS akan menjadi tumpuan bagi masyarakat untuk melangkah maju.

Jangan harap Indonesia bisa menjadi bangsa yang menikmati abad keemasan pada tahun 2045 bila masyarakat belum terbebas dari kejahatan-kejahatan yang memalukan.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022