Jakarta (ANTARA News) - Penasihat Indonesia Police Watch (IPW) Johnson Panjaitan menyatakan program kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) sebaiknya tidak dipaksakan karena masih menyimpan banyak persoalan.

"Saya yakin kalau pelaksanaan e-KTP terus dipaksakan dengan kondisi seperti sekarang, hasil akhirnya pun tidak akan beres," kata Johnson di Jakarta, Senin.

Menurutnya, program e-KTP dari awal sudah tidak beres, yakni sejak membangun Sistem Administrasi Kependudukan (SAK), Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), dan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Kalaupun harus dilanjutkan, kata Johnson sebaiknya diambil alih langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Bentuk sebuah badan ad hoc independen yang melibatkan eksekutif, legislatif, dan unsur masyarakat," katanya.

Badan tersebut bisa seperti Badan Pelaksana Penyelenggaraan Pendidikan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (BP 7) yang khusus menangani Pancasila ketika zaman Orde Baru dulu.

"Badan ad hoc yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden ini hanya bekerja selama dua tahun dan khusus menangani NIK dan e-KTP," katanya.

Menurut Johnson, pertaruhan e-KTP sangat besar, baik terhadap sekitar 250 juta penduduk dan pembangunan demokrasi di Indonesia.

Program-program prorakyat pemerintah seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan jaminan-jaminan sosial lainnya akan berbasiskan e-KTP.

Selain itu, e-KTP juga akan menjadi faktor penting dalam praktik berdemokrasi yang bersih dan transparan.

"Kekacauan e-KTP bisa memberi peluang terhadap manipulasi suara dalam pemilu. Itu sangat berbahaya," kata Johnson.

Sebelumnya, aktivis ICW Danang Widoyoko juga menyarankan pemerintah lebih fokus memutakhirkan NIK ketimbang e-KTP. Sebab, UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang dijadikan dasar pelaksanaan e-KTP tidak menyinggung sedikitpun soal e-KTP.

"Yang ditarget undang-undang itu adalah NIK bukan e-KTP. Jadi yang paling penting dirapikan NIK-nya, itu yang lebih mendesak ketimbang e-KTP. Karena memudahkan integrasi dengan aparat kepolisian, imigrasi, dan perbankan," ujarnya.

(T.S024/M027)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011