Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Fraksi Demokrat DPR RI Marwan Cik Asan meminta pemerintah berhati-hati dalam mengelola utang dengan melihat kasus Sri Lanka yang gagal dalam membayar utang.

Dia mengatakan apa yang dialami Sri Lanka harus menjadi cermin bagi Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan utang.

“Aktivitas ekonomi Sri Lanka selama ini sudah sangat tergantung dengan utang, sebagian besar digunakan untuk melakukan impor kebutuhan bahan pokok dan BBM yang terus meningkat, dalam 2 tahun terakhir jumlah utang telah bertambah lebih dari Rp2.000 triliun dengan total utang saat ini mencapai Rp7.000 triliun,” kata Marwan dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Komisi VIII DPR: Pemda bertugas pastikan bansos tepat sasaran

Menurut dia, rasio utang terus meningkat dalam 7 tahun terakhir dari 24,7 persen tahun 2014 meningkat menjadi 40 persen pada awal tahun 2022.

Dia menjelaskan peningkatan rasio utang menggambarkan bahwa penggunaan utang semakin tidak produktif, penambahan utang tidak lagi menjadi pengungkit untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang hanya berkisar 5 persen atau lebih rendah dari target RPJM yang rata-rata ditargetkan 7 persen per tahun.

“Kondisi makro ekonomi Indonesia sangat jauh berbeda dari Sri Lanka, beberapa indikator makro ekonomi Indonesia masih dalam kondisi stabil dan aman,” ujarnya.

Menurut dia, rasio utang masih dalam wajar, yaitu di bawah 60 persen, defisit APBN menuju tahap konsolidasi dengan maksimum defisit 3 persen pada 2023, dan tingkat inflasi relatif rendah masih dalam target BI sebesar 2-4 persen.

Baca juga: Sahroni apresiasi Kejaksaan ungkap mafia minyak goreng

Namun di sisi lain, dia menilai ada beberapa indikator yang mengkhawatirkan dan patut diwaspadai pemerintah, yaitu harus memperhatikan rasio pajak yang terus menurun dalam sepuluh tahun terakhir dari 13, 6 persen tahun 2013 turun hingga mencapai 7,9 persen pada tahun 2020.

“Kondisi ini menggambarkan terjadinya penurunan basis pajak dan penerimaan pemerintah dari sektor pajak. Padahal penerimaan pajak menjadi tumpuan utama penerimaan negara. Dengan turunnya rasio pajak, maka ketergantungan pemerintah terhadap utang akan semakin besar,” katanya.

Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI itu menegaskan bahwa hal lain yang mengkhawatirkan adalah rasio beban bunga yang semakin meningkat.

Menurut dia, rasio beban bunga terhadap PDB tahun 2020 mencapai 2 persen atau setara dengan 19,2 persen dari total pendapatan pemerintah pada tahun 2020.

Baca juga: Puan minta Pemerintah fasilitasi warga saat mudik

Marwan menilai rasio penerimaan pemerintah tahun 2020 sebesar 10,6 persen dikurangi rasio beban bunga 2 persen, maka sisa rasio pendapatan hanya mencapai 8,6 persen untuk belanja pemerintah.

“Namun faktanya rasio belanja pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah mencapai 15 persen pada 2015-2019. dan 16,9 persen pada 2020 karena pandemi dan resesi belanja fiskal,” ujarnya,

Menurut dia, kondisi tersebut untuk menutupi turunnya penerimaan pemerintah dalam pembiayaan belanja dipastikan pemerintah akan terus menambah jumlah utang dalam jumlah besar.

Marwan menambahkan dengan berbagai indikator yang disampaikannya, maka pengelolaan utang pemerintah mungkin tidak akan seperti Sri Lanka yang mengalami kegagalan dalam pembayaran utang.

“Namun pemerintah perlu lebih waspada dan disiplin dalam penggunaan utang. Pemerintah harus dapat memastikan bahwa utang digunakan untuk kegiatan produktif sehingga mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat kemiskinan, dan pengangguran,” ujarnya.

Dia menilai hal tersebut dapat tercapai jika pemerintah fokus pada peningkatan penerimaan perpajakan karena merupakan sumber utama masalah fiskal.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022