Bangkok (ANTARA News) - Satu tahun berlalu dari pemilihan umum, yang dikecam Barat sebagai lelucon, negara berkekuasaan tentara Myanmar mengejutkan pengulas dengan serangkaian langkah perubahan, yang menjanjikan harapan perubahan di negara keras itu.

Pada 7 November 2010, 29 juta pemilih diminta memberikan suara dalam pemilihan umum pertama di negara itu dalam 20 tahun, memilih wakil untuk dua kamar parlemen dan majelis daerah.

Tapi, seperempat dari kursi disediakan untuk tentara dan partai dukungan tentara Kesetiakawanan Bersatu dan Pembangunan menyatakan menang besar, demikian AFP melaporkan.

Pemilihan umum itu diwarnai pernyataan kecurangan dan ketidak-hadiran pembela demokrasi Aung San Suu Kyi, yang dibebaskan sepekan kemudian sesudah tujuh tahun dalam tahanan rumah. Partai lawannya dibubarkan akibat memboikot pemilihan umum tersebut.

Tapi, meskipun dikendalikan tentara, pemerintah baru Myanmar merangkul lawan politiknya dan mengisyaratkan serangkaian perubahan politik dalam beberapa bulan belakangan, yang tak terpikirkan setahun lalu.

"Di setiap negara, pemilihan umum membawa perubahan. Itu sebabnya kami mendukung (pemilihan umum tersebut)," kata pakar Myanmar Aung Naing Oo dari Lembaga Pembangunan Vahu, tangki pemikir berpusat di Thailand.

"Tapi, kami tidak pernah berpikir bahwa perubahan itu secepat ini dan belum pernah terjadi," katanya.

Pada Maret, orang kuat pemimpin Myanmar Jenderal Besar Than Shwe, yang berkuasa sejak 1992, pensiun. Penguasa itu dibubarkan, melicinkan jalan bagi pemerintahan warga.

Sejak itu, Presiden Thein Sein, mantan jenderal, mengejutkan pengecam dengan sejumlah gerakan rujuk, terutama dengan mengadakan pembicaraan langsung dengan Suu Kyi.

Ia juga mencengangkan pengamat dengan mengabaikan Cina sekutunya dan membekukan pembangunan bermasalah bendungan raksasa, dengan mengatakan bahwa ia harus "menghormati kehendak rakyat".

Suu Kyi pribadi secara berhati-hati menyambut perkembangan di negaranya itu, tapi menyatakan tidak jelas apakah Thein Sein dapat melaksanakan janji perubahannya.

Anggota parlemen membuka sidangnya pada media dan meloloskan undang-undang memikat, seperti, yang memberikan pekerja Myanmar hak mogok, dan yang melicinkan jalan bagi Liga Bangsa untuk Demokrasi (NLD) Suu Kyi mendaftar ulang.

Langkah kecil luar biasa itu merebut pujian terbatas dari kelompok hak asasi, yang tetap waspada terhadap penguasa keras di negara juga dikenal sebagai Birma tersebut.

"Sejak Presiden Thein Sein menjabat, pernyataan pemerintah sangat berubah," kata pernyataan Human Rights Watch, yang berpusat di New York, menandai ulang tahun pemilihan umum itu.

"Sementara pemerintah baru meloloskan hukum perubahan dan menjanjikan perubahan kebijakan, ujian sesungguhnya adalah tanggapan ketika warga Birma mencoba melaksanakan hak mereka," kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia kelompok itu.

Pembela hak asasi juga terus mengutuk pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan terhadap kelompok suku kecil di negara itu, banyak di antaranya bersengketa dengan penguasa sejak kemerdekaan dari Inggris pada 1948.

Aung Naing Oo mengakui laju perubahan "sangat lambat" pada beberapa masalah.

"Yang harus kita pahami adalah bahwa banyak orang dari pemerintah berasal dari masa lalu, dengan pola pikir lama," katanya, "Mereka perlu mengurangi penekanan pada keamanan dan lebih pada pembangunan, perdamaian."

Ia juga memperingatkan bahaya serangan balik dari "garis keras" kuat, yang menentang terlalu banyak perubahan, keprihatinan bersama pengamat lain, katanya.

Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat dan Eropa Bersatu mengakui upaya pemerintah baru-baru ini, mereka terus menekankan perubahan besar dan pembebasan semua sekitar 2.000 tahanan politik negara itu.

Penguasa itu mengampuni sekitar 200 tahanan politik pada Oktober, tapi mengecewakan "banyak orang", karena tidak membebaskan pembangkang paling utama.

Ampunan lain diperkirakan berlangsung dalam waktu dekat, kata sumber diplomatik.

Sementara itu, pakar menyatakan Amerika Serikat dan negara lain Barat belum siap mencabut hukuman politik dan ekonomi, yang mereka kenakan pada negara tersebut sejak 1990.

"Pada akhirnya, Amerika Serikat harus mencabut hukuman itu, tapi saya pikir itu akan lambat," kata Aung Naing Oo, "Saya pikir itu akan berlangsung setidak-tidaknya dua atau tiga tahun, mungkin lebih."
(B002/Z002) 

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011