Jakarta (ANTARA News) – Bagi Sa’unine String Orchestra, musik dari berbagai daerah Indonesia ibarat "kebhinekaan" yang “tunggal ika” dalam 45 alat musik gesek.

“Lagu yang biasa dimainkan dengan gamelan, tifa, dan seruling tradisional disatukan dalam orkestra alat musik kami, itu sebabnya Sa’unine mengklaim diri sebagai Orkes Geseknya Indonesia,” kata konduktor kelompok musik tersebut, Oni Krisnerwinto di tengah Konser Orkes Geseknya Indonesia 2011, di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Jumat malam.

Mereka menangkap inti melodi dan komposisi lagu seperti Jali-Jali (Betawi), Timang Si Buyung (Medan), Owa-Owa (Sulawesi), atau Cublak-Cublak Suweng (Jawa) untuk kemudian diaransemen ulang dalam harmoni suara biola, viola, cello, dan bass.

Yang kemudian muncul adalah kumpulan suara dengan warna baru meski melodi dan komposisinya kurang lebih masih sama. Perbedaan karakter lagu daerah, Jali-Jali yang lugas apa adanya dan Cublak-Cublak Suweng yang ceria, melebur dalam gesekan senar.

Musik gesek mungkin adalah cara grup asal Jogjakarta itu menjadi Indonesia, sebuah wilayah geo-spasial lintas budaya dan bahasa. Cara mereka membentuk identitas baru yang mentransendensikan perbedaan seperti "ane orang betawi", "kulo tiyang Jogja", "beta orang Manado", dll. Jika benar demikian, maka orkestra Sa’unine adalah bagian dari pembentukan karakter bangsa (nation building).

Sampai di sini bisa jadi orang akan tergoda untuk bermetafora dengan menjadikan komposisi dan melodi lagu daerah sebagai modalitas awal sebuah bangsa bernama Indonesia, semacam bahan baku yang belum diolah (raw material). Juga dengan menjadikan biola, viola, cello dan bass sebagai instrumen untuk mengolah bahan baku tersebut menjadi sebuah karya dalam satu kesatuan.

Sebagai sebuah karya, konser Sa’unine berhasil dalam olahan itu. Pembukaan dengan repertoar "Tak Lelo Ledhung" bertempo adagio dengan iringan suara Sopran Sruti Respati membuat penonton terdiam menahan nafas. Sebaliknya, repertoar penutup, Dolanan Pizzicato (semacam kumpulan lagu rakyat Jawa), membuat sekitar 450 audien tertawa dan bertepuk tangan riuh.

Jika Sa’unine berhasil menyatukan Indonesia dalam gesekan, bagaimana dengan rapor penyelenggara negara seperti pemerintah dan wakil rakyat untuk jenis pekerjaan yang bertujuan sama?

Berbeda dengan Sa’unine, kesatuan negara ini mungkin lebih banyak dipertahankan oleh slogan quasi patriotik kosong para politisi tanpa kerja nyata. Bahan baku yang kaya di negeri ini (laut penuh ikan dan tanah subur) tidak mampu diaransemen ulang oleh penyelenggara negara. Orang miskin masih 30,2 juta jiwa dan pengangguran terbuka 8,12 juta jiwa. Apakah hasil pekerjaan ini layak diberi tepuk tangan?

Jika Sa’unine mampu mengharmonikan berbagai karakteristik lagu daerah, maka berapa banyak disharmoni kultural di negara ini? Apakah perang agama beberapa tahun lalu di Manado, kekerasan di Aceh sebelum penendatangan nota kesepahaman di Helsinski, atau perang suku di Sampit adalah harmoni yang juga layak diberi tepuk tangan?

Mungkin penguasa terlalu lelah karena sangat serius mengurus negara. Ada baiknya mereka mencontoh bagaimana Sa’unine memperlakukan instrumen musik klasik dengan santai, bahkan dengan lawakan.

Musik klasik yang biasanya membuat kening tegang dan berkerut malam itu justru nampak akrab dengan lelucon Sa’unine. Penonton tertawa ketika para pemusik tidur saat Oni memberi pengantar pada lagu Kara dan Kanaya. Mungkin bisa ditafsirkan di sini bahwa nation building tidak perlu hadir dengan slogan “Indonesia harga mati” yang menakutkan, tetapi dengan keakraban yang memunculkan tawa bersama.

Satu-satunya pertanyaan tersisa adalah kenapa Sa’unine tidak menyertakan alat musik gesek asli Indonesia seperti rebab. Apakah suara rebab tidak layak mendampingi alat musik Barat seperi biola? Namun bagaimanapun juga, pilihan alat musik adah hak sepenuhnya grup yang beranggotakan 45 orang ini.

Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011