Jakarta (ANTARA News) - Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto mengatakan pertumbuhan ekonomi tinggi tidak selalu diikuti oleh kualitas indeks pembangunan manusia (IPM) yang tinggi.

"Pertumbuhan tinggi tidak selalu diikuti dengan IPM yang tinggi, harus dilihat terlebih dahulu faktor apakah yang membentuk pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut," ujarnya saat pemaparan di Jakarta, Kamis.

Kecuk mencontohkan pertumbuhan ekonomi di Bandung yang hampir mencapai angka 8,0 persen, namun IPM di kawasan tersebut rendah. Sedangkan pertumbuhan ekonomi wilayah Depok walaupun tidak setinggi Bandung, namun IPM di kawasan itu termasuk tinggi.

"Ini menunjukkan bahwa kemampuan penduduk untuk mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan lebih tinggi di kawasan Depok dibandingkan Bandung," ujarnya.

Menurut dia, dengan contoh tersebut, pertumbuhan ekonomi di Bandung lebih banyak terbantu oleh tingginya sektor konsumsi, bukan oleh sektor riil.

"Untuk itu, agar pertumbuhan dapat lebih berkualitas sangat perlu mendorong pengembangan sektor riil seperti pertanian dan industri, serta mengembangkan hasil komoditas klasik, misalnya selain karet," papar Kecuk.

Ia menjelaskan dengan berkembangnya sektor riil di wilayah pedesaan maka pendapatan serta daya beli masyarakat dapat meningkat, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas.

"Jadi dapat dikatakan apabila ada kemajuan dalam IPM bisa dikatakan kesejahteraan meningkat, walaupun kesejahteraan tersebut akibat peran pemerintah ataupun karena kemampuan daya beli masyarakat," ucapnya.

Terkait hasil IPM, Kecuk memaparkan indeks pembangunan manusia Indonesia pada 2010 mencapai 72,27 poin, angka rata-rata harapan hidup 69,43 tahun, angka melek huruf 92,91 persen, rata-rata lama sekolah 7,92 tahun dan daya beli per kapita sebesar Rp633,64 ribu.

Ia menyebutkan BPS menghitung IPM untuk membandingkan kemajuan pembangunan manusia antar-provinsi, antar-kabupaten kota di Indonesia.

"Hal ini yang menyebabkan perbedaan hitung-hitungan BPS dengan United Nation Development Program (PBB/UNDP), karena selain dari metodologi yang berbeda, UNDP menghitung IPM untuk membandingkan kemajuan pembangunan manusia antar-negara," tutur Kecuk.

Menurut dia, pada 2010 UNDP telah memperbarui metodologi terutama dalam menghitung harapan lama sekolah. Sedangkan BPS masih menggunakan angka melek huruf sebagai indikator penghitungan dalam dimensi pengetahuan.

Indeks pembangunan manusia (IPM) merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia yang dibentuk atas tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat (longevity), pengetahuan (knowledge) dan standar hidup layak (decent living standard).

Berdasarkan data UNDP, Indonesia menempati urutan 124 dari 187 negara dengan IPM sebesar 0.617 poin, angka rata-rata harapan hidup 69,4 tahun dengan rata-rata lama sekolah 5,8 tahun.

Indonesia menempati urutan ke-enam dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina.

(T.S034/C004)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011