mendapatkan hewan buruan cukup besar disampaikan lewat tuddukat
Siberut, Mentawai (ANTARA) - Siang itu, saat sebagian warga Desa Muntei, di Siberut Selatan tengah asyik bergelut dengan aktivitas keseharian, terdengar suara tuddukat dari sebuah uma atau rumah adat tradisional suku Mentawai.

"Tung...tung..tung...tung....". Demikian terdengar bebunyian dari alat komunikasi tradisional di daerah itu yang hingga kini masih digunakan.

Jika bunyi bertempo lambat dengan satu pukulan yang tetap, maka itu adalah kabar duka pertanda ada warga desa yang telah meninggal dunia.

Sontak saat mendengar bunyi tersebut semua warga menghentikan aktivitas dan mereka mendengarkan dengan seksama untuk mengetahui siapa yang meninggal dan dari suku apa.

Sebab bunyi-bunyian yang ditabuh bukan sembarang pukul saja. Setiap ketukan akan menghasilkan bunyi huruf vokal yang bisa diartikan.

Tak pelak usai bunyi-bunyian tersebut terdengar, warga segera meninggalkan aktivitas dan bergegas menuju uma tempat tuddukat ditabuh.

Tuddukat

Bagi warga Siberut yang hidup selaras dengan alam di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang berjarak sekitar 80 mil laut dari Kota Padang, sekitar lima jam perjalanan laut dengan kapal cepat atau 12 jam dengan kapal biasa, masih memakai tuddukat sebagai penyampai pesan.

Kalau warga di perkotaan semakin menggemari berkomunikasi lewat aplikasi bertukar pesan, maka warga di Siberut punya tuddukat yang tidak membutuhkan jaringan internet dan listrik untuk memberi kabar kepada warga lain.

Cukup memukul tuddukat untuk berkabar, maka suaranya akan terdengar hingga sejauh lima kilometer.

Tuddukat berbentuk serupa kentongan namun ukurannya jauh lebih besar dengan panjang hingga dua meter dan diameter sekitar 60 sentimeter. Tuudukat dipahat dari kayu kulim yang dikenal keras dan liat, dan pada bagian tengah dibuat rongga untuk menciptakan nada yang khas.

Seperangkat tuddukat biasanya terdiri atas tiga gelondong kayu kulim yang bentuknya sama namun ukurannya berbeda kemudian letaknya dibariskan sejajar di loteng beranda depan uma yang berbentuk panggung.

Tuddukat paling besar diberi nama ina, sementara yang berukuran sedang disebut sileleite dan yang paling kecil disebut toga. Masing-masing tuddukat punya nada tersendiri.

Yang paling besar akan mengeluarkan bunyi vokal i dan u, yang menengah bunyi e dan o serta yang paling kecil vokal a menyerupai cara kerja kode morse.

Untuk memainkan tuddukat dipukul menggunakan dua kayu kecil berbentuk bulat yang disebut tetek.

Menurut Teteu Aikub Sakalio yang merupakan Kepala Suku Sakalio di Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, tuddukat tidak boleh dibunyikan oleh sembarangan orang dan hanya kepala suku yang berhak memukulnya.

Sosok yang merupakan satu dari lima sikerei (dukun) di Desa Muntei itu mengatakan tuddukat merupakan sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari uma.

Uma dibangun tanpa paku dan merupakan tempat paling penting bagi segala aktivitas warga Mentawai yang mampu menampung lima sampai tujuh kepala keluarga.

"Ada uma pasti ada tuddukat sebagai tradisi budaya Mentawai," katanya.

 
Kepala Suku Sakalio ,Teteu Aikub Sakalio memukul tuddukat menggunakan tetek di Sanggar Seni Budaya Uma Jaraik Sikerei di Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumbar. (Antara/Ikhwan Wahyudi)


Baca juga: Antropolog: Tuddukat, kearifan lokal Mentawai yang tetap bertahan

Baca juga: Menjaga hutan dan budaya masyarakat adat Mentawai


Berkabar lewat tuddukat

Menurut Teuteu Aikub, tuddukat dibunyikan ketika ada kematian dan kehidupan. Misalnya saat ada yang sakit, meninggal, kehilangan barang hingga ada yang mendapatkan hewan buruan cukup besar akan disampaikan informasi lewat tuddukat.

Ia menyampaikan saat tuddukat dibunyikan, maka yang mendengarkannya akan tahu apa yang terjadi, misalnya saat ada kematian maka keluarga yang mendengar akan segera datang menuju uma sehingga tidak perlu dipanggil lagi.

Untuk setiap kabar yang hendak disampaikan bunyi dan ketukan pukulannya berbeda.

Saat menyampaikan kabar kematian tuddukat dipukul dengan satu pukulan dengan tempo lambat.

Ketika anggota suku mendapatkan hewan buruan yang besar seperti babi atau monyet maka pukulannya lebih cepat dan menghentak gembira, pertanda panggilan untuk berpesta menyantap buruan tersebut.

Waktu tuddukat dipukul dari yang kecil maka itu pertanda buruannya kecil seperti monyet atau penyu sebaliknya jika yang besar maka ada babi besar atau rusa berhasil didapat.

Bahkan saat ada anggota keluarga yang terbaring sakit dan tak bisa ditinggal sendirian di uma, untuk memberi tahu warga yang lain guna meminta pertolongan bisa membunyikan tuddukat.

Selain itu saat ada bencana alam berupa gempa tuddukat juga dibunyikan dalam satu pukulan tempo cepat sebagai informasi agar semua anggota keluarga segera berkumpul dan menyelamatkan diri.

Sementara itu, warga Desa Muntei yang juga pelatih sanggar seni budaya Uma Jaraik Sikerei, Valentinus Samemek menyampaikan, sebelum membunyikan tuddukat kepala suku akan melakukan ritual terlebih dahulu sebagai bentuk komunikasi dengan alam.

Ia mengatakan saat ada kemalangan tuddukat akan dibunyikan terus sampai dikuburkan.

"Dari bunyinya orang akan tahu apakah yang meninggal anak kecil, orang dewasa, janda hingga duda dan berasal dari suku apa," katanya menjelaskan.

Valentinus mengakui saat ini bahan kayu untuk membuat tuddukat kian sulit dicari dan tak banyak lagi orang yang bisa memahatnya.

"Beruntung tuddukat yang sudah ada masih utuh dan kondisinya tetap baik karena dibuat dari kayu dengan kualitas bagus," katanya.

Baca juga: Mentawai gelar atraksi budaya sambut gerhana matahari

Baca juga: FISIP Unand pamerkan benda-benda kebudayaan Mentawai


Kearifan Lokal

Antropolog Universitas Andalas (Unand) Padang Dr Maskota Delfi mengemukakan tuddukat merupakan sesuatu yang dipukul kemudian menghasilkan bunyi, digunakan sebagai penyampai berita gembira dan berita sedih bagi masyarakat Mentawai.

Untuk berita gembira dibunyikan saat mendapatkan hasil buruan atau uba sebagai pemberitahuan kepada anggota uma dan warga sekitar uma. "Makanya bunyinya agak cepat dan bernada gembira," katanya.

Kemudian untuk penyampai berita kesedihan seperti kematian yang dipukul dengan pelan. Saat menyampaikan kabar duka tuddukat dipukul amat berhati-hati agar tidak salah penyampaian dan penerimaan.

Ia mengemukakan saat berita gembira seperti mendapatkan hewan buruan akan disampaikan lewat tuddukat yang secara filosofis artinya ada semangat berbagi daging kepada anggota uma.

"Selain itu juga menunjukkan prestasi karena tidak semua orang terampil dan ahli dalam berburu," katanya.

Sedangkan untuk kabar sedih dalam pemahaman orang Mentawai jika disampaikan secara mendadak tidak baik karena akan menimbulkan kekagetan.

"Oleh sebab itu melalui bunyi tuddukat dipandang mengurangi rasa sedih dan kaget tersebut setelah ada yang meninggal," katanya.

Pada sisi lain ia melihat penggunaan tuddukat lebih efektif sebagai penyampai pesan di masyarakat Mentawai yang masih alami. Sebab tidak butuh listrik hingga sinyal dan daya jangkaunya bisa terdengar jauh.

Ke depan ia menilai tuddukat juga berpeluang sebagai penyampai pesan saat ada bencana alam dengan catatan harus ada kreativitas dan memastikan bunyi tersebut bisa dipahami bersama.

Kendati kemajuan teknologi terus berkembang Teteu Aikub bersama warga Mentawai lainnya tetap bertahan menggunakan tuddukat sebagai penyampai kabar gembira dan duka karena merupakan bagian tak terpisahkan dari alam.

Zaman boleh terus berkembang namun mereka tetap setia pada nilai-nilai kearifan lokal yang telah turun temurun diajarkan nenek moyang sebagai bagian dari identitas budaya yang tak lekang digilas waktu.

Baca juga: Mentawai gelar festival masyarakat adat

Baca juga: Pameran kearifan adat istiadat Suku Mentawai di Leiden
Uma Aman Lima Ko'o salah satu rumah tradisional suku Mentawai di Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumbar. (Antara/Ikhwan Wahyudi)

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022