Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VII DPR RI, Dewi Aryani, menilai penghematan anggaran negara melalui pembatasan bahan bakar minyak (BBM) tidak tepat dan tidak masuk akal.

Kepada ANTARA News di Jakarta, Sabtu malam, politikus dari PDI Perjuangan itu mengatakan bahwa langkah tersebut membuktikan ketidakmampuan Pemerintah dalam mengelola anggaran negara sehingga rakyat yang harus "membayar" kegagalan pemerintah.

Ia mengutarakan bahwa pembatasan BBM itu tidak memiliki landasan dan kajian yang komprehensif.  Pembatasan ini merupakan bentuk kepanikan pemerintah.

"Manajemen panik kian jadi andalan pemerintah dalam mengelola negara, padahal kita memiliki sumber energi yang luar biasa dan sumber daya manusia yang memiliki beragam keahlian dan kepakaran di segala bidang," katanya.
 
Menurut Dewi, semuanya serba nanggung. Pembatasan untuk mobil sedemikian rupa dipaksakan, namun pemerintah lupa bahwa penggunaan BBM untuk sepeda motor justru peningkatannya jauh lebih besar.

"Coba saja hitung berapa jumlah peningkatan sektor transportasi, tapi jangan lupa bahwa sektor transportasi juga menjadi indikator keberhasilan ekonomi," kata Dewi.

Khusus bidang energi, lanjut dia, dengan tidak adanya Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam jangka pendek, menengah, dan panjang, menyebabkan potensi penerimaan negara di sektor ini banyak yang hilang percuma. Bahkan, tersedot oleh negara lain.

Mereka tidak saja mengelola dan memanfaatkannya, tetapi berbagai kewajiban pembayaran royalti yang seharusnya tinggi dan sepadan, cost recovery yang menjadi kewajiban pengelola pertambangan dan migas. Bahkan, masalah persentase fokus penggunaan untuk sektor domestik tidak pernah dikelola dengan baik.

Seharusnya, sambung Dewi, Pemerintah mengembangkan kebijakan yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Semua sektor yang menjadi wilayah pemanfaatan energi harus di-mapping sehingga dapat menciptakan kebijakan-kebijakan menyeluruh yang saling terintegrasi, dan tidak malah menimbulkan masalah baru.

"Peluang masalah terjadi karena satu sama lain, misalnya, antarkementerian tidak saling koordinasi, bahkan terkesan ada ego sektoral," kata anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan IX Jawa Tengah itu.

Menurut dia, Dewan Energi Nasional (DEN) yang diketuai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi salah satu aktor paling bertanggung jawab terhadap kebijakan kebijakan energi nasional yang seharusnya bisa segera dimulai dengan segera dibuat dan disahkan KEN.

"Akan tetapi, tentunya KEN yang tidak asal dibuat, harus mengacu pada empat pilar kebangsaan, segi ekonomisnya hingga kepada leadership pemimpin, yaitu berani mengambil keputusan cepat, tepat, akurat dengan penghitungan cermat yang berfokus kepada pengutamaan kepentingan dalam negeri dan kepentingan rakyat," kata Dewi. (zul)

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2012