Jakarta, (ANTARA News) - "Negeri Auto Pilot". Begitu tulisan yang terpampang pada sebuah spanduk di jembatan penyeberangan menuju halte Transjakarta Pasar Baru Jakarta, Minggu (8/11).

Tulisan berwarna putih pada spanduk berlatar belakang hitam itu tidak disertai pembuat spanduk, dan bisa jadi tidak disertai izin pemasangan dari pemerintah setempat.

Tergelitik oleh pesan yang cenderung provokatifnya itu, sepanjang siang Rabu kemarin, Antara News menelusuri jejak spanduk yang terpasang di sejumlah tempat publik strategis di ibukota seperti Sawah Besar, Bundaran Senayan, Blok M, Kalibata dan Kuningan.

Lucunya, seharian itu, di tempat-tempat itu, spanduk-spanduk tersebut hilang, tak bisa lagi didapati.

Spanduk itu sempat terpampang lama di depan Pasar Baru, tapi Rabu itu raib entah ke mana.

Tidak puas di Pasar Baru, Antara News memburu spanduk serupa di kawasan Harmoni, lalu Bundaran Senayan, kemudian Blok M.  Hasilnya? Nihil, spanduk itu tiba-tiba menghilang.

Timbul pertanyaan, siapakah gerangan yang menanggalkannya, adakah yang mengetahui asal dan ke mana raibnya spanduk-spanduk itu?  Atau apa yang dipahami orang-orang mengenai "Negeri Auto Pilot"?

"Negeri auto pilot bisa diibaratkan negeri tanpa pemimpin yang jelas. Negerinya berjalan sendiri tanpa tujuan yang jelas ke arah mana," kata Aminingrum, pegawai negeri sipil di Jakarta.

Aminingrum (26) sendiri mengaku baru mengetahui spanduk itu setelah memelototi halaman depan sebuah surat kabar nasional.

Aminingrum mencoba menangkap makna dari "Negeri Auto Pilot" itu.  Katanya, negeri seperti ini adalah negeri di mana rakyat tidak tahu arah sedangkan para pemimpinnya masa bodoh dengan keadaan yang ada.

Tapi bagi Ryan A. Syakur (26), pesan di balik spanduk yang sempat dilihatnya di daerah Mampang, Jakarta Selatan, itu multitafsir.

"Bisa merupakan promo acara teater atau semacam pesan tentang negeri yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu oleh tangan-tangan yang tak terlihat," kata Ryan yang bekerja sebagai karyawan swasta itu.

Di negeri yang digerakkan kepentingan tertentu, maka sistem sudah terpola otomatis. Ada pesan, ada tujuan.

Tapi, setidaknya menurut Ryan, dalam soal spanduk "Negeri Auto Pilot", pesan pembuat spanduk tidak sampai ke pambacanya karena tidak populer.

"Kata-kata yang seperti itu di masyarakat kita tidak mengena dan cenderung dianggap angin lalu. Tapi kalau kata-kata seperti 'negeri koruptor', baru efektif tersampaikan ke masyarakat," katanya.

Pendapat Ryan sesuai dengan fakta yang dijumpai Antara News ketika menanyai sejumlah orang perihal spanduk "Negeri Auto Pilot" itu.

Sejumlah orang dengan latar belakang berbeda seperti pelajar, satpam gedung pemerintahan, karyawan swasta, maupun petugas Transjakarta mengatakan tidak menyadari ada spanduk seperti itu.  Jika pun mereka melihat, kata dalam spanduk itu tak terekam dalam memori mereka, karena tidak populer itu.

Terlepas dari keberadaan spanduk yang tidak lagi terlacak, kata "negeri auto-pilot" pernah tersampaikan dalam jumpa pers sejumlah tokoh lintas agama ketika mendatangi KPK untuk menyatakan dukungan pengungkapan kasus korupsi besar, Rabu (11/1).

Saat itu, kepada sejumlah pewarta di gedung KPK, Romo Frans Magnis-Suseno, Sholahudin Wahid, Mgr. D. Situmorang, dan Pdt. Andreas A. Yewangoe mengkritisi sistem kepempimpinan politik negeri ini yang tak lagi mereka percayai.  Mereka melihat negeri ini bagai sebuah negeri auto-pilot.

Masalahnya, apa benar negeri ini benar-benar berjalan tanpa arahan atau seperti kata seorang blogger, Kasim Muhammad, bahwa negara ini adalah negara tanpa perencanaan.

Tak ada yang bisa menghentikan orang untuk menilai sesuatu di negeri bermantel demokrasi seperti Indonesia, semua dapat menilai dan menafsirkan.  Tak masalah, anggap saja sebagai masukan publik.

Mengutip John Gastil dalam The Jury and Democracy terbitan Oktober 2010, partisipasi publik adalah kekuatan dari sebuah masyarakat demokratik.

I026

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012