Jenewa/Yerusalem (ANTARA) - Sebuah komisi penyelidikan independen yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB setelah perang Gaza 2021 mengatakan Israel harus melakukan lebih dari sekadar mengakhiri pendudukan di tanah yang diinginkan warga Palestina untuk membentuk negara.

Hal itu disampaikan dalam sebuah laporan yang dirilis pada Selasa (7/6).

Kementerian luar negeri Israel menyebut laporan itu "membuang-buang uang dan usaha" yang sama dengan sebuah upaya perburuan penyihir.

Israel memboikot penyelidikan Dewan HAM PBB itu dan menuduhnya bias serta melarang para penyelidik masuk.

Munculnya mandat penyelidikan PBB itu dipicu oleh konflik 11 hari yang terjadi pada Mei 2021 di mana 250 warga Palestina di Gaza dan 13 orang di Israel tewas.

Mandat penyelidikan tersebut mencakup dugaan pelanggaran hak asasi manusia sebelum dan sesudah konflik itu dan berusaha untuk menyelidiki "akar penyebab" ketegangan.

Laporan komisi penyelidikan PBB itu mengutip bukti yang mengatakan Israel "tidak berniat mengakhiri pendudukan" dan mengejar "kendali penuh" atas apa yang disebut Israel sebagai Wilayah Pendudukan Palestina, termasuk Yerusalem Timur, yang diambil oleh Israel dalam perang 1967.

"Mengakhiri pendudukan saja tidak akan cukup," kata laporan itu dan mendesak tindakan tambahan untuk memastikan pemastian hak asasi manusia yang setara.

Mengutip undang-undang Israel yang menolak naturalisasi bagi orang Palestina yang menikah dengan orang Israel, laporan itu menuduh negara itu memberikan "status sipil, hak, dan perlindungan hukum yang berbeda" untuk orang-orang minoritas Arab.

Israel mengatakan langkah-langkah tersebut untuk menjaga keamanan nasional dan karakter Yahudi negara itu.

Kementerian Israel menambahkan: "Ini adalah laporan yang bias dan sepihak yang dinodai dengan kebencian terhadap Negara Israel dan berdasarkan serangkaian panjang laporan sepihak dan bias sebelumnya."

Israel menarik diri dari Gaza pada 2005. Namun, dengan bantuan Mesir, Israel menekan daerah kantong perbatasan yang sekarang dikuasai oleh kelompok Hamas.

Otoritas Palestina memiliki pemerintahan sendiri yang terbatas di wilayah Tepi Barat, yang dipenuhi dengan pemukiman Israel.

Hamas, yang bersumpah untuk menghancurkan Israel, memulai perang Mei 2021 dengan serangan roket menyusul gerakan untuk mengusir keluarga Palestina di Yerusalem Timur.

Perang itu juga sebagai pembalasan atas peristiwa bentrokan polisi Israel dengan warga Palestina di dekat Masjid al-Aqsa, situs tersuci ketiga umat Islam.

Pertempuran Gaza disertai dengan kekerasan di jalanan yang jarang terjadi di Israel antara warga Yahudi dan Arab.

Hamas menyambut baik laporan komisi penyelidikan PBB itu dan mendesak penuntutan para pemimpin Israel atas apa yang disebutnya sebagai "kejahatan" terhadap rakyat Palestina.

Otoritas Palestina juga memuji laporan itu dan menyerukan pertanggungjawaban "dengan cara yang mengakhiri impunitas Israel".

Laporan itu akan dibahas minggu depan di Dewan HAM PBB yang berbasis di Jenewa. Namun, badan PBB itu tidak dapat membuat keputusan yang mengikat secara hukum.

Amerika Serikat keluar dari Dewan HAM PBB pada 2018 atas apa yang digambarkannya sebagai "bias kronis" terhadap Israel dan baru bergabung kembali sepenuhnya pada tahun ini.

Tidak seperti biasanya, komisi penyelidikan yang beranggotakan tiga orang memiliki mandat terbuka atau belum ditentukan batasnya. Seorang diplomat mengatakan bahwa mandat seperti itu sudah menjadi masalah sensitif.

"Orang-orang tidak menyukai gagasan tentang keabadian (dari mandat itu)," katanya.

Anggota dari komisi penyelidikan itu berasal dari India, Afrika Selatan dan Australia.

Sumber: Reuters

Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2022