Konsumsi sapi akan semakin tinggi menjelang Idul Adha dan meluasnya wabah PMK bisa berkontribusi pada kelangkaan sapi dan hal ini akan merugikan konsumen. Di sisi lain, peternak juga dirugikan karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk menan
Jakarta (ANTARA) - Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan distribusi vaksin penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak perlu dipercepat untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut menjadi lebih luas dan menyebabkan kerugian yang lebih besar.

“Konsumsi sapi akan semakin tinggi menjelang Idul Adha dan meluasnya wabah PMK bisa berkontribusi pada kelangkaan sapi dan hal ini akan merugikan konsumen. Di sisi lain, peternak juga dirugikan karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk menangani PMK,” kata peneliti CIPS Aditya Alta dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat.

Aditya mengatakan bahwa distribusi vaksin perlu dipercepat di daerah-daerah dengan tingkat ketertularan PMK yang tinggi dan daerah-daerah penghasil sapi utama di Tanah Air.

Baca juga: Penyakit mulut dan kuku mengancam produktivitas ternak

Menurutnya, setiap pulau juga perlu memiliki pusat karantina hewan dan bibit hewan ternak yang diimpor untuk menghindari penyebaran virus dengan cepat melalui udara.

Selain itu, proses pengawasan dan karantina yang ketat oleh Bea Cukai dan juga di Rumah Potong Hewan (RPH) untuk sapi dapat meminimalisir penyebaran penyakit menular hewan.

Walaupun PMK diduga berasal dari sapi impor, lanjut Aditya, Indonesia memang masih membutuhkan impor untuk memenuhi kebutuhan daging sapinya. Outlook Daging Sapi 2020 dari Kementerian Pertanian menunjukkan sekitar 30 hingga 40 persen kebutuhan daging sapi nasional dipenuhi melalui impor, terutama daging maupun sapi bakalan dari Australia.

Aditya menilai, ketersediaan sapi dalam negeri dipengaruhi oleh keterbatasan industri pembibitan sapi, rantai distribusi yang panjang, dan tingginya biaya transportasi dan logistik karena karakteristik negara kepulauan yang besar.

Pulau Jawa merupakan sentra produksi utama sapi, namun mayoritas sapi di Pulau Jawa digunakan sebagai sumber tenaga kerja, tabungan, atau status sosial dan bukan sebagai penghasil daging.

Baca juga: Pemerintah percepat penanganan PMK jamin hewan kurban jelang Idul Adha

Dia menjelaskan sentra penghasil sapi selanjutnya berada di kawasan Indonesia timur dengan populasi sebesar 16 persen secara nasional. Namun angka kematian anak sapi di daerah tersebut relatif tinggi dan angka kelahirannya juga rendah.

Aditya mengatakan tahap distribusi yang panjang mempengaruhi harga daging sapi nasional. Sapi harus melewati tujuh hingga sembilan tahap distribusi dari peternak sampai ke konsumen dalam bentuk daging yang menyebabkan harganya menjadi tinggi. Selain itu, sapi juga juga rawan sakit akibat panjangnya proses dan ini akan menambah biaya yang diperlukan.

“Indonesia juga dihadapkan pada tantangan jarak sebagai negara kepulauan karena proses penyimpanan dan pengangkutan menjadi sangat panjang dan hal ini berdampak pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan,” kata Aditya.

Aditya merekomendasikan perbaikan seperti peningkatan kapasitas peternak dan penyederhanaan proses distribusi. Pembangunan infrastruktur pendukung, seperti jalan dan saluran air diharapkan bisa memunculkan sentra-sentra produksi sapi yang baru.

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022