Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah siapkan dua alternatif penyelesaian utang PT Garuda Indonesia yakni dengan menyuntik dana sebesar 250 juta dolar AS atau membentuk semacam perusahaan khusus
(special purpose vehicle/SPV) untuk mengambil alih utang Garuda sebesar 644 juta dolar AS.
Demikian diungkapkan Meneg BUMN Sugiharto, dalam Rapat Kerja bersama Menkeu Sri Mulyani, dengan Komisi XI DPR-RI, di Jakarta, Senin.
Hadir juga pada raker tersebut Dirjen Pajak Hadi Purnomo, dan Dirjen Perbendaharaan Depkeu, Mulia Nasution.
Menurut Sugiharto, pembayaran utang 250 juta dolar AS dari APBN akan dijadikan sebagai penyertaan modal pemerintah di Garuda.
Sedangkan SPV nantinya akan membayar kembali utang pokok dan bunga kepada kreditor dalam jangka waktu 10 tahun dengan jumlah sekitar 80 juta dolar AS per tahun.
"Sumber dana akan diperoleh dari pembayaran sewa pesawat sekitar 30 juta dolar AS per tahun oleh PTB Garuda dan sisanya diharapkan dari pemerintah sekitar 50 juta dolar As per tahun," ujar Sugiharto.
Kedua alternatif tersebut disampaikan ke DPR untuk dimintai persetujuan, yang dijadwalkan paling lambat akhir Maret.
Meski demikian, Sugiharto menjelaskan, alternatif kedua, akan memberikan dampak positif bagi Garuda, dalam arti biaya sewa pesawat yang lebih wajar, neraca perusahaan lebih sehat dan ketersediaan dana yang lebih besar untuk investasi.
"Dari sisi pemerintah, beban yang harus ditanggung APBN akan lebih ringan apabila dibandingkan dengan penyediaan dana segar sekaligus," ujar Sugiharto.
Ia juga menjelaskan, pemerintah juga akan memperoleh keuntungan lain dalam bentuk peningkatan nilai Garuda yang lebih besar.
Saat ini, Garuda dalam kondisi `default` akibat tidak mampu memenuhi kewajiban utang kepada kreditor yang jatuh tempo pada 31 Desember 2005 sebesar 56,7 juta dolar AS.
Selain itu garuda juga memiliki utang kepada para pemasok per Februari 2006 sebesar 95 juta dolar AS dimana 94 persen atau 88,8 juta telah jatuh tempo.
Sugiharto menjelaskan, memburuknya kinerja keuangan dalam 2 tahun terakhir akibat tingginya harga bahan bajkr dan dampak peristiwa bom Bali, serta meningkatnya persaingan domestik maupun internasional.
Ia menjelaskan, selain penyelesaian restruktrisasi utang perusahaan, Garuda diharuskan melakukan efisiensi operasional, yang meliputi resturturisasi organisasi dengan melakukan "right sizing" pegawai dan `spin-off Citilink`.
Selain itu, perlunya program efisiensi antara lain melalui penghematan bahan bakar, biaya handling, asuransi, training, dan teknologi informasi.
Sugiharto juga menegaskan, untuk mempercepat transformasi bisnis dan budaya kerja serta pengembangan usaha Garuda, diperlukan penjajakan dengan mitra strategis dengan ketentuan maksimal kepemilikan sampai dengan 49 persen.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006