Jakarta (ANTARA) - Koordinator Pusat BEM Nusantara Ahmad Supardi mendorong pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) guna menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

"RKUHP yang sedang dibuat saat ini adalah undang-undang dan produk kita, maka perlu adanya dukungan dari kita semua," kata Ahmad Supardi, seperti dikutip dari video yang diterima di Jakarta, Senin.

Dia menilai RKUHP yang sedang digodok saat ini merupakan produk hukum nasional yang perlu didukung untuk disahkan. Sehingga, KUHP yang telah berlaku sejak zaman Indonesia dijajah oleh Belanda dapat segera diperbaharui.

"Saya harapkan kepada teman-teman di berbagai kampus, bahkan se-nusantara, untuk mengkaji ulang pasal-pasal yang dianggap kontroversial di RKUHP, agar ada pemahaman yang lebih filosofis dan substansial," jelasnya.

Dia menegaskan bila memang ada pasal dalam RKUHP yang tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan Pancasila, BEM Nusantara sebagai agent of change akan menggunakan pendekatan persuasif dan mengedepankan diskusi untuk pembahasan lebih lanjut di lembaga legislatif selaku pembuat UU.

"Perlu digarisbawahi, kita juga wajib menolak jika dalam pasal-pasal tersebut ada kekeliruan. Masukan dari kita juga wajib didengarkan oleh lembaga legislatif. Mereka tentu mau menerima kami supaya ada penyampaian alasan kenapa pasal dalam RKUHP tersebut ditolak," kata Supardi.

Baca juga: Arsul : Reformulasi pasal RKUHP dari Dewan Pers wajib dibahas di DPR

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Benny Riyanto mengatakan RKUHP baru sudah sangat ideal untuk menggantikan KUHP peninggalan Belanda, karena telah mengikuti pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana sesuai perkembangan zaman.

Paradigma yang menjadi rujukan Benny adalah dari aspek keadilan retributif atau balas dendam dengan penghukuman badan menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban), dan rehabilitatif (bagi keduanya).

"Harapannya, RKUHP yang sekarang sudah masuk di DPR ini adalah UU yang sudah kompromi dengan semua masukan masyarakat, sesuai dengan asas meaningful participation," kata mantan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham itu.

Terkait isu pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, menurut dia, itu sebuah kritik yang perlu disampaikan berikut dengan solusi dan masukan. Kritik juga berasal dari data dan fakta, sementara penghinaan merupakan perkataan yang bersifat mencela orang lain sehingga menyebabkan kerugian.

"Menurut saya, mahasiswa harus bisa membedakan kedua hal tersebut. Namanya negara demokrasi itu memang harus bisa menerima kritik tapi bukan yang sifatnya kerugian," ujarnya.

Baca juga: Komisi III DPR komitmen segera selesaikan RUU KUHP

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022