Yogyakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Anang Zubaidy mengatakan sistem pengampuan di Indonesia perlu segera diperbaiki sehingga memenuhi hak konstitusional penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum.

"Perlu upaya yang serius dan sistemik untuk melakukan pembaruan paradigma sistem pengampuan di Indonesia," ujar Anang Zubaidy di Yogyakarta, Senin.

Menurut Anang, sistem pengampuan di Indonesia saat ini merujuk pada ketentuan Pasal 433 KUH Perdata.

Hadirnya pasal tersebut, ujar dia, menciptakan suatu kondisi di mana setiap orang yang dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap harus diampu sekalipun mereka kadang-kadang cakap menggunakan pikiran-nya.

Implementasi pasal itu, menurut dia, sangat berpotensi menyebabkan "kematian keperdataan" bagi penyandang disabilitas mental sekaligus menyebabkan berbagai kendala bagi mereka yang berhadapan dengan hukum.

Anang mengatakan sistem pengampuan yang ada saat ini berdampak pada hilangnya kecakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum, khususnya untuk menggunakan hak-hak keperdataan-nya.

"Dalam konteks tersebut, salah satu kelompok disabilitas yang kerap luput dalam pertimbangan kebijakan adalah penyandang disabilitas mental," ujar dia.

Baca juga: KSP dukung Pokja P5HAM untuk lindungi penyandang disabilitas mental

Baca juga: YAPESDI: RUU TPKS harus akui kesaksian penyandang disabilitas mental


Karena dinilai memiliki kapasitas mental yang tidak sempurna atau sedang dalam gangguan, menurut dia, penyandang disabilitas mental kemudian dianggap tidak memiliki kapasitas hukum.

"Jaminan hak-hak penyandang disabilitas mental tidak dapat dihindarkan dari berbagai problematika yang sistemik dan merugikan hak asasi mereka. Mulai dari kerentanan terhadap tindakan-tindakan yang diskriminatif lantaran anggapan ketidakcakapan-nya yang berada dalam pengampuan," tutur dia.

Oleh karena itu, ujar Anang, diperlukan sistem pengampuan yang didasarkan pada paradigma "supported decision making" atau sistem dukungan dalam pengambilan keputusan bukan justru "subtituted decision making" atau sistem pengganti dalam pengambilan keputusan.

Menurut dia, Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan bahwa hak untuk diakui di hadapan hukum merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

"Oleh karenanya, seharusnya setiap orang diperlakukan sama dan diakui pribadi-nya di hadapan hukum," tutur dia.

Selain itu, ia juga mendorong dirumuskan kembali atau merevisi ketentuan dalam Pasal 433 KUH Perdata berdasarkan pada kebutuhan penyandang disabilitas mental dan perkembangan ilmu kesehatan terkini.

"Sehingga memberikan ruang paradigma 'supported decision making' sebagai basis pengampuan yang berkeadilan, berkemanfaatan dan berkepastian di Indonesia," demikian Anang Zubaidy.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022