Jakarta (ANTARA News) - Dialog antara PM Inggris Tony Blair dengan lima tokoh Islam Indonesia di Jakarta, Kamis, sejak awal sudah kehilangan maknanya karena tidak menyertakan utusan dari kelompok-kelompok yang selama ini dianggap radikal mengingat pembicaraan itu menyinggung isu-isu penting, seperti terorisme dan Jihad, yang sering dituduhkan kepada mereka. "Dialog itu tidak komprehensif dan kehilangan makna yang sangat signifikan, kecuali kalau (dialog itu) menyertakan utusan dari kelompok-kelompok yang dianggap radikal seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI)," kata Ketua Data dan Informasi Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Fauzan Al Anshori. Menurut Fauzan, model dialog seperti ini lazim dilakukan Inggris, Amerika Serikat (AS) dan Israel di Palestina. Mereka hanya mau melakukannya dengan kelompok Al Fatah, namun tidak dengan Hamas padahal Hamas sekarang ini merupakan pemenang Pemilu yang diselenggarakan secara jujur dan adil. Terkait dengan dialog Blair dengan Abdullah Gymnastiar, Nazaruddin Umar, Azyumardi Azra, Din Syamsuddin dan Quraish Shihab itu, Fauzan mengatakan, isu-isu yang dibahas tidak jauh-jauh dari upaya Inggris meningkatkan kerjasama global memerangi apa yang disebut "terorisme". Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), Hasyim Muzadi, yang diundang tidak hadir. Dalam hal ini, agenda besar AS, Inggris dan sekutunya adalah bagaimana mereformasi kurikulum pesantren di Indonesia, katanya. "Ada tiga mata pelajaran di pesantren-pesantren kita yang menurut mereka (AS dan sekutunya) harus direformasi, yakni Fiqih Jihad, Ilmu Tafsir, dan Adab." "Karena itu, dalam dialog dengan ke-enam tokoh agama ini, dlibatkannya Pak Nazaruddin Umar yang ahli metodologi tafsir serta Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam soal Jihad menjadi sesuai dengan keinginan negara-negara Barat. Tapi ini tidak komprehensif karena tidak dilibatkannya kelompok lain," katanya. Agenda besar Barat untuk mereformasi kurikulum pendidikan dan pengajaran di pesantren-pesantren di Tanah Air itu ditindaklanjuti Pemerintah AS dengan pengucuran dana sebesar 157 juta dolar AS sejak 2002, di luar tambahan dana senilai 8,5 juta dolar AS ketika Menlu Condoleezza Rice mengunjungi Jakarta 14-15 Maret lalu, katanya. "Jadi mereka ingin, output (lulusan) pesantren sesuai dengan standar AS," katanya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006