Markas PBB, New York (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Perserikatang Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan menyesalkan dan mencemaskan pernyataan Perdana Menteri (PM) Kamboja, Hun Sen, yang mengecam kinerja utusan Hak Asas Manusia (HAM) PBB di negaranya. "Sekjen cemas dengan pernyataan yang dikeluarkan PM Kamboja baru-baru ini menyangkut kinerja Utusan Khusus Sekjen PBB untuk HAM di Kamboja dan Kantor Komisaris Tinggi untuk HAM di negara itu," demikian pernyataan dari Kantor Sekjen PBB, Kamis waktu setempat. Hun Sen, pada Kamis menyatakan bahwa utusan-utusan HAM PBB sebagai "dewa tanpa kebajikan" dan "turis jangka panjang", dan mengecam PBB lantaran bungkam selama pembantaian yang dilakukan Khmer Merah tahun 1970-an. "Berbicara tentang HAM, bukanlah hak untuk hidup yang dianggap hak penting? Pada saat Khmer Merah membunuh orang kenapa anda bungkam?" kata pemimpin Kamboja itu. Komentarnya yang disampaikan dalam satu pertemuan mahasiswa unviversitas dilakukan sehari setelah ia meminta utusan khusus PBB, Yash Ghaai, diganti lantaran mengecam kebijakan di Kamboja yang dinilai tidak adanya reformasi pemerintah. Orang yang digantikan Ghai, Peter Leuprecht, mengundurkan diri dari jabatannya awal tahun lalu, karena dikecam berulangkali oleh pemerintah Phnom Penh lantaran laporan-laporannya yang kritis kepada PBB. Ghai, pakar hukum yang terkenal dari Hongkong yang diangkat pada November 2005 pada hari Selasa mengatakan bahwa lawatan keduanya ke Kamboja tidak ada yang dapat dilakukan untuk mempercepat reformasi, dan mengecam pihak donor-donor lantaran tidak menekan pemerintah setempat mengenai pelanggaran HAM. Ketua HAM PBB, Louise Arbour, membela Ghai dan orang-orang yang digantikannya, dan mengatakan bahwa mereka semua "diberi mandat oleh masyarakat internasional untuk memantau pelaksanaan HAM dan kebebasan dasar." "Sekjen yakin para pejabat Kamboja akan tetap melakukan kerjasama dengan Utusan Khusus itu dan Kantor Komisi Tinggi untuk HAM di Kamboja," demikian pernyataan resminya. Tidak kurang dua juta orang meninggal akibat kelaparan, kerja paksa dan pembantaian antara tahun 1975 dan 1979 ketika Khmer Merah pimpinan Pol Pot yang berhaluan kiri menghapuskan semua sisa-sisa kehidupan modern dalam usaha mereka untuk mewujudkan satu cita-cita negara agraria. Pembantaian itu diabaikan sebagian besar pihak internasional, dan Khmer Merah tetap diakui oleh PBB sebagai pemerintah sah Kamboja selama tahun 1980-an. Hun Sen, mantan komandan militer Khmer Merah, selama ini sering terlibat dalam pertikaian pendapat dengan PBB menyangkut reformasi pemerintahannya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006