Jakarta (ANTARA News) - Setelah 21 tahun sejak kunjungan terakhir kepala pemerintahan Inggris ke Indonesia, PM Inggris Tony Blair melakukan lawatan resmi dua harinya di Indonesia mulai Rabu (29/3) malam. Jurubicara Deplu Dino Patti Djalal menyebut, kunjungan kedua PM Inggris setelah kunjungan Margareth Thatcher (1985) itu dalam rangka menyegarkan kembali hubungan Indonesia-Inggris. Kunjungan kepala pemerintahan negara sekutu AS dalam serangan ke Irak itu hanya berselang beberapa pekan setelah kunjungan Menlu AS Condolezza Rice ke Indonesia. Dalam program lawatannya itu, Blair diagendakan bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicarakan sejumlah topik seperti hubungan bilateral, program kepemudaan, kerjasama pembangunan. Selain itu dia juga dijadwalkan untuk bertemu dengan enam tokoh umat Islam Indonesia. Kunjungan ini menarik untuk dicermati mengingat selama 21 tahun Indonesia "luput" menjadi prioritas perhatian pemimpin pemerintahan Inggris dan baru dilirik kembali setelah merebaknya aksi-aksi anti-AS di sejumlah negara berpenduduk mayoritas muslim. Upaya mendekati Indonesia, sebagai negara demokrasi berpenduduk muslim terbesar di dunia sangat terbaca dari pernyataan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra baru-baru ini yang menyebut agenda lawatan Blair menunjukkan ketertarikannya untuk mendiskusikan masalah pengembangan Islam di Indonesia serta bermaksud memahami Islam lebih dalam lagi. Menurut dia, menarik untuk mengkaji posisi Inggris di antara negara-negara Uni Eropa, serta kedekatannya dengan AS, sehingga misi kunjungan Tony Blair ke Indonesia dapat dipahami. Posisi Inggris di UE Inggris merupakan anggota Uni Eropa (UE) dengan tradisi politik dan ekonomi yang tidak selalu sejalan dengan anggota-anggota lainnya. Pada masa awal terbentuknya UE di tahun 1952, Inggris menganggap kepentingannya berada di luar Eropa. Kengganannya untuk berurusan dengan Eropa disebabkan letaknya yang secara fisik terisolasi dari gejolak politik dan ekonomi yang terjadi di daratan Eropa. Inggris telah menjadi fokus kajian disiplin ilmu hubungan internasional dan ekonomi sejak berakhirnya Perang Dunia II. Pada masa pemerintahan PM Margareth Thatcher (Partai Konservatif, 1979-1990) negara tersebut berada di depan di antara negara-negara Eropa dalam hal reformasi ekonomi pasar bebas. Reformasi tersebut telah menjadikan Inggris sebagai pemimpin dunia dalam prinsip-prinsip pasar bebas. Sebagai kekuatan menengah dunia di bidang ekonomi dan militer, kebijakan luar negeri Inggris saat ini ditujukan kepada tiga area, yakni Uni Eropa, hubungan dengan NATO dan AS, serta peranannya di kelompok negara-negara Persemakmuran ("John Mc Cormick, 2001"). Dalam konteks pertahanan nasional, Inggris memiliki aliansi yang sangat kuat dengan AS. Bahkan Inggris menjadi kunci utama bagi para pembuat kebijakan AS yang berkeinginan mempengaruhi kebijakan-kebijakan Eropa dalam berbagai bidang. Negara itu diakui sebagai salah satu dari tiga negara pilar Uni Eropa, selain Jerman dan Perancis. Namun secara eksternal, negara ini lebih cenderung dekat dengan AS dibanding Eropa. Kebanyakan pengamat politik dan ekonomi berpendapat bergabungnya Inggris dengan Uni Eropa (tahun 1973) karena secara ekonomi negeri itu tidak punya pilihan lain. Kendati demikian, dalam hal kebijakan luar negerinya, Inggris selalu antusias untuk mendukung AS  meski berbeda dengan kebijakan negara-negara anggota Uni Eropa lainnya  seperti halnya dalam Perang Lebanon (1982), serangan ke Libya (1986), Perang Teluk (1991), dan serangan ke Irak (2003). Kejadian tersebut menujukkan kekuatan otonom kebijakan luar negeri Inggris yang di luar batasan Uni Eropa. Hubungan mesranya dengan AS, bisa dirunut dari kedekatan historis dan budaya masa-masa kolonialisme Inggris di Amerika Utara abad 16. Negeri itu juga sekutu AS dan pemenang Perang Dunia II. Ditambah lagi dengan adanya hubungan dekat Margareth Thatcher-Ronald Reagan (Presiden AS tahun 1980-1988). Di bidang ekonomi, hubungan Inggris-AS yang erat terlihat dari jumlah penanaman modal asing di antara kedua negara. Inggris merupakan penanam modal terbesar di AS dan sebaliknya. Hampir 45 persen investasi asing Inggris ditujukan ke AS sementara hampir 40 persen investasi langsung di Inggris berasal dari AS. Sekitar satu juta orang AS bekerja di perusahaan-perusahaan Inggris, demikian pula sebaliknya, seperti ditulis situs britainusa.com. Dukungan-dukungan Inggris terhadap AS itu selalu membuahkan reaksi keras atau kecaman dari rekan-rekannya sesama anggota Uni Eropa, yang membuatnya selalu dalam posisi terjepit di antara kepentingan AS dan Eropa. Kedekatan Inggris dengan AS membuat was-was anggota UE lainnya seperti Perancis, karena pengaruh AS dalam kebijakan luar negeri dan keamanan Inggris cukup kuat. Aksi invasi Inggris dan AS ke Irak tahun 2003 juga sempat membuat hubungan negara tersebut sedikit tegang dengan dengan Jerman dan Perancis. Inggris memainkan peranan penuh dalam badan-badan Eropa seperti European Political Community (EPC) dan West European Union (WEU). Sebagian besar tokoh politik Inggris berpendapat bahwa ide dasar Eropa mewakili kepentingan Inggris dan bahwa kebijakan keduanya saling melengkapi. Meski sejak awal Inggris merupakan pendukung kuat EPC, namun bagi Inggris EPC cukup mengurus aspek ekonomi dan politik, sementara aspek pertahanan merupakan wewenang Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Inggris juga cemas dengan dekatnya hubungan Jerman-Perancis yang menyebabkan negara itu pada akhirnya mendukung WEU agar dapat mengawasi aliansi "Franco-German". Dengan hal-hal tersebut di atas, maka cukup beralasan bagi Indonesia untuk memahami bahwa sosok Blair tidak mencerminkan sosok Uni Eropa, tapi lebih mencerminkan sosok Amerika. Adalah beralasan pula bila sebagian kalangan akademisi menganggap kunjungan Blair ke Jakarta, selain membawa misi kepentingan Inggris, juga mengemban misi kepentingan AS. Itu terutama dalam hal "mencuri hati" masyarakat muslim dunia, setelah invasi AS-Inggris ke Irak tahun 2003 mendapat kecaman luas masyarakat muslim serta negara-negara Uni Eropa lainnya.(*)

Oleh Yuri Alfrin Aladdin
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006