Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan mantan Konsul Jenderal (Konjen) RI di Penang, Malaysia, periode 2004 -2005, Erick Hikmat Setiawan. Erick dijemput oleh tim penyidik KPK dari rumahnya di Kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan, dan langsung dibawa ke Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Selasa untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka selama hampir empat jam. Usai menjalani pemeriksaan, Erick langsung dibawa ke Rumah Tahanan Polda Metro Jaya. Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Tumpak Hatorangan Panggabean, menjelaskan berdasarkan perkembangan penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi di Konjen RI di Penang, KPK menemukan bukti keterlibatan Erick secara bersama-sama melakukan pungutan dengan cara menaikkan tarif pengurusan dokumen keimigrasian terhadap WNI, khususnya TKI yang berada di Penang, Malaysia. "Dari hasil pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, dia mengaku turut menikmati hasil pengumpulan dana dari tarif yang ditarik secara berlebih itu sejak 2004 hingga 2005," tutur Tumpak. Dalam pemeriksaan, lanjut Tumpak, Erick mengaku selama 2004 menerima uang yang berasal dari pungutan berlebih sebesar 7.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp17,5 juta per bulan. Sedangkan sepanjang 2005, Erick mengaku menerima uang sebesar 14.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp35 juta per bulan. Uang tersebut, diakui Erick, diterimanya dari mantan Kasubid Imigrasi Konjen RI di Penang, Muhammas Khusnul Yakin Payopo, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Senin, 3 April 2006. Menurut Tumpak, Erick mengetahui uang yang diterimanya berasal dari pungutan berlebih terhadap WNI, terutama TKI, yang mengurus dokumen keimigrasian seperti perpanjangan paspor dan pembuatan paspor baru. "Dia bukan hanya mengetahui, tetapi juga menyetujuinya dan memberikan perintah secara lisan," ujarnya. Erick juga mengetahui adanya dua surat keputusan dari Duta Besar RI di Malaysia tentang tarif biaya keimigrasian yang didasarkan oleh PP No 26 Tahun 1999 tentang tarif keimigrasian. "Perbuatan tersangka digolongkan sebagai perbuatan berlanjut karena dilakukan secara terus-menerus sejak 2004 hingga 2005," ujar Tumpak.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006