Tanjung Selor (ANTARA) - Belakangan ini, jika melihat data-data pelaku aksi teroris ada sebuah fenomena, yakni kecenderungan mereka yang terlibat adalah para generasi muda (milenial/generasi Y dan generasi Z).

Lihatlah beberapa kasus, antara lain pada 17 Juli 2009, saat seorang pemuda yang baru berusia 18 tahun, yakni Dani Dwi Permana, melakukan aksi yang menggoncang kota metropolitan dengan melakukan bom bunuh diri di Hotel JW Marriott Jakarta. Ia tewas dalam aksinya itu.

Pada 20 Oktober 2016, seorang pemuda kelahiran 1994 di Jakarta atau kala itu berusia 22 tahun, bernama Sultan Azianzah, menyerang pos lalu lintas Cikokol, Tangerang. Ia akhirnya tewas, meskipun sempat mendapat perawatan di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, setelah terkena beberapa kali tembakan.

Pelaku bom bunuh diri yang menerobos masuk Mapolrestabes Medan pada 13 November 2019, yakni Rabbial Muslim Nasution, saat itu berusia 24 tahun.

Seorang pemuda, Tendi Sumarno, berusia 23 tahun, menjadi pelaku teroris yang menusuk Bripka Frence di halaman Kantor Intel Brimob Kelapa Dua, Depok.Tendi tewas ditembak di tempat, usai melakukan penyerangan.

Ledakan bom di Gereja Katedral Makassar pada Minggu, 28 Maret 2021, dilakukan oleh Lukman dan Dewi, pasangan suami istri kelahiran 1995 atau saat itu berusia 26 tahun, tergolong Gen Z.

Kemudian kasus yang menghentakkan, tentang indikasi seorang wanita Gen Z --juga 26 tahun atau kelahiran 1995-- bernama Zakiah Aini, diperkirakan terpapar virus radikal melalui dunia maya dan menjadi seorang lone wolf memilih jalan "jihadis" dengan menyerang Mabes Polri pada Rabu sore, 30 Maret 2021.

Khusus dua kasus terakhir, mereka ternyata berbeda aliran terorisme, yakni Lukman dan Dewi berafiliasi pada Jamaah Ansharut Daulah (JAD) berkiblat pada Kota Jalo, Filipina Selatan, sementara Zakiah Aini diduga bagian dari jaringan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).

Kesamaan mereka rata-rata masih muda. Milenial atau generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah generasi X, yakni mereka yang lahir pada kisaran 1980 hingga 2000-an.

Sedangkan generasi yang lahir setelah generasi Y (milenial) adalah mereka yang lahir pada 1995 sampai dengan 2010. Kadang Gen Z disebut juga sebagai "I-Generation" atau generasi internet atau generasi net.

Fenomena generasi muda (milenial dan Generasi/Gen Z) yang terlibat radikalisme sebagai benih terorisme diakui mahasiswa dan aktivis organisasi di Kalimantan Utara.

Muhammad Nur Arisan, mahasiswa Universitas Borneo, Tarakan, angkatan 2017, mengakui adanya upaya untuk menjadikan pemuda menjadi radikal melalui dialog-dialog yang terkesan ilmiah oleh kelompok tertentu.

Upaya untuk mempengaruhi itu menjadi mudah jika para pemuda atau mahasiswa tidak memiliki ilmu agama yang benar, adanya faktor perekonomian serta masalah dendam perorangan dan kelompok.

Hal senada diungkapkan Sakti Abimayu, juga seorang mahasiswa yang aktif di PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Tarakan, bahwa pergerakan radikalisme di kampus cukup masif.

Dalam upaya menekan gerakan ini pihaknya "melawan" dengan cara dialogis serta menggelar berbagai acara, misalnya mendatangkan penceramah untuk mengingatkan tentang bahaya radikalisme dan terorisme bagi masa depan bangsa.


Bonus Demografi

Pertanyaannya mengapa kaum milenial dan Gen Z kini sangat rawan terpapar paham kekerasan? Ada beberapa faktor, sehingga generasi muda, khususnya kaum milenial dan Gen Z, sangat rawan terpapar.

Pertama, karena usia mereka masih dalam pencarian jati diri atau labil sehingga butuh pengakuan.

Faktor lain, karena bagi para teroris membutuhkan regenerasi, sehingga selalu ada upaya pengaderan bagi kaum milenial dan Gen Z itu.

Potensi penyebaran radikal dan terorisme di kalangan milenial dan Gen Z diakui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Polisi Boy Rafli Amar.

Hal itu kembali diungkapkan saat membuka Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional di Jakarta, belum lama ini. Karena itu BNPT sangat fokus dalam mencegah agar remaja dan pemuda tidak terpapar paham kekerasan itu.

BNPT mencatat tantangan bagi generasi muda kian besar dengan adanya bonus demografi. Bonus demografi adalah kondisi yang terjadi saat sebuah negara memiliki jumlah penduduk usia produktif yang lebih tinggi daripada penduduk usia non-produktif.

Berdasarkan prediksi yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik), Indonesia diperkirakan mengalami bonus demografi pada kurun 2030-2040. Artinya, pada kurun waktu tersebut kondisi masyarakat Indonesia akan didominasi oleh usia produktif (usia 15-64 tahun) ketimbang usia non-produktif.

BPS memperkirakan setidaknya sekitar 64 persen usia produktif dari total penduduk yang diproyeksikan, yakni 297 juta jiwa.

Faktor lain, BNPT mencatat tentang kemajuan teknologi informasi digital dan meluasnya pengguna media sosial sebagai media kelompok terorisme untuk kepentingan mereka dalam menjaring generasi muda.

Indonesia kini menempati peringkat keempat sebagai negara pengguna internet tertinggi. Dari sekitar 274.9 juta jiwa total penduduk Indonesia, 80 persen pengguna memiliki akun sosial media yang 60 persen merupakan generasi millenial dan generasi Z.

Di tengah "tsunami" informasi yang saat ini terjadi, ideologi transnasional dengan mudah masuk dan menyebar ke masyarakat Indonesia.

Ideologi transnasional adalah ideologi global yang melintasi batas negara dan bangsa, tak sekadar kampanye dan propaganda ideologi yang mampu mempengaruhi kebijakan politik sebuah negara.

Ideologi transnasional jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila.

Kemajuan teknologi informasi digital dan media sosial juga menjadi "ladang subur" bagi ideologi transnasional ini. Misalnya, Bisa dilihat dari pola penyebaran antara Al Qaeda (didirikan oleh jutawan Saudi Osama Bin Laden, awal 1980-an) dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah, dideklarasikan oleh Abu Bakar al-Baghdadi di Mosul, Irak, pada 2014).

Perkembangan Al Qaeda cenderung terbatas. Berbeda dengan ISIS, polanya begitu masif dan cepat menyasar ke berbagai negara, semua jenis kelamin dan usia --khususnya generasi milenial dan generasi Z--. Pasalnya gerakan ini lahir bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi digital dan luasnya pengguna media sosial.


Pencegahan

Dalam upaya mencegah penyebaran paham kekerasan itu, berbagai program kerja sama dilakukan BNPT, termasuk dengan perguruan tinggi guna mencegah terpaparnya generasi muda.

Belum lama ini, Kepala BNPT Komjen Polisi Boy Rafli Amar membekali ribuan mahasiswa baru Universitas Indonesia dengan nilai-nilai toleransi dan karakter kebangsaan dalam kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) di kampus UI Depok, Jawa Barat.

Menghadapi berbagai tantangan itu, maka seorang pelajar atau mahasiswa tidak hanya dituntut punya ilmu pengetahuan, namun harus mengenal karakter dan ideologi bangsa Indonesia.

Salah satu "vaksin" dalam melawan penyebaran virus radikalisme dan terorisme adalah mengajak bagi remaja dan pemuda dalam pelestarian dan penguatan nilai adat budaya.

Memahami dan mencintai keanekaragaman budaya, namun tetap satu dalam bingkai NKRI atau Bhineka Tunggal Ika, adalah cara efektif untuk menepis dan mempersempit ruang gerak ideologi radikal dan terorisme

Radikalisme dan terorisme adalah nilai yang menghancurkan peradaban dan budaya karena ingin membuat budaya baru yang sarat dengan kekerasan.

Khusus di Kaltara, upaya mencegah penyebaran paham kekerasan di kalangan remaja dan pemuda itu melalui pelatihan pembuatan konten di medsos tentang bahaya intoleransi, radikalisme dan terorisme oleh Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara bekerja sama dengan BNPT.

Kegiatan itu sebagai upaya melibatkan langsung puluhan pelajar dan mahasiswa di provinsi ke-34 Indonesia itu agar mereka memahami ancaman nyata intoleransi, radikalisme dan terorisme.

Berbagai upaya tersebut hakikatnya hanya sarana dalam melawan paham kekerasan, baik dengan pola ceramah, lomba tulisan maupun pelibatan mereka secara langsung melalui pelatihan pembuatan konten untuk disebarkan di medsos pada masing-masing akun dari puluhan pelajar dan mahasiswa tersebut.

Sedangkan tujuan utama adalah pembentukan karakter bagi generasi muda agar tidak gampang terpengaruh dengan paham kekerasan itu, sehingga butuh dukungan semua pihak.

Upaya tersebut tidak cukup hanya dilakukan oleh lembaga pendidikan, baik sekolah, perguruan tinggi, BNPT maupun FKPT, namun harus didukung semua pihak yang terlibat dalam pembentukan karakter bagi generasi muda, termasuk peran lingkungan dan keluarga.

Pembentukan karakter itu penting, seperti pernah diungkapkan Bapak Bangsa Bung Karno: "Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya serta bermartabat...".

 

Copyright © ANTARA 2022