gangguan pertumbuhan dan perkembangan akan berdampak pada periode kehidupan selanjutnya
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Maria Endang Sumiwi mengatakan pemanfaatan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan salah satu strategi pemerintah dalam menurunkan angka kematian bayi bawah lima tahun (balita).

“Salah satu strategi pemerintah dalam menurunkan angka kematian balita yaitu pemanfaatan buku KIA sebagai home based record dan media edukasi bagi ibu dan keluarga,” kata Endang dalam sambutannya melalui video di webinar yang digelar oleh Direktorat Gizi dan KIA Kemenkes dan Tentang Anak di Jakarta, Jumat.

Dia mengatakan buku KIA yang dicetak pada tahun ini juga telah ditambahkan formulir atau lembar pemantauan mandiri oleh ibu hamil, ibu nifas, juga pemantauan bagi bayi baru lahir dan balita. Melalui buku KIA, ibu dan keluarga dapat mendeteksi secara dini masalah pada kehamilan, nifas dan balita sehari-hari di rumah.

“Jika ditemukan gejala atau tanda bahaya yang ada di dalam formulir tersebut, ibu atau balita harus segera datang atau dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan,” ujarnya.

​​​Dia menambahkan, pihaknya juga telah mengembangkan buku KIA digital atau mobile KIA (m-KIA) sejak tahun 2020. Hal ini, kata Endang, memudahkan ibu dan keluarga untuk memiliki catatan pelayanan kesehatan, melakukan pemantauan tumbuh kembang balita, serta memperoleh edukasi perawatan, pengasuhan, dan konsultasi langsung dengan dokter spesialis anak melalui ponsel pintar.

Baca juga: Kemenkes perkirakan balita kurus meningkat 7 juta anak akibat pandemi

Baca juga: Kemenkes: 51,2 persen balita stunting berada di lima provinsi absolut


“Dalam rangka meningkatkan literasi, tidak hanya ibu (terlibat) tetapi juga ayah, nenek, kakek, juga seluruh keluarga, meningkatkan literasi dalam deteksi dini tanda bahaya dan gejala balita sakit di tingkat keluarga,” katanya.

Endang menegaskan masa balita merupakan periode emas pertumbuhan fisik, intelektual, mental, dan emosional anak. Pemenuhan kebutuhan terhadap asah, asih dan asuh melalui pemenuhan aspek fisik hingga biologis dan stimulasi yang memadai pada usia balita akan meningkatkan kelangsungan hidup anak dan mengoptimalkan kualitas anak sebagai generasi penerus bangsa.

Namun sebaliknya, dia mengatakan masa balita juga merupakan periode kritis di mana segala bentuk penyakit kekurangan gizi maupun kekurangan stimulasi akan membawa dampak negatif yang menetap sampai masa dewasa, bahkan sampai usia lanjut.

“Balita yang mengalami hambatan atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan akan berdampak pada periode kehidupan selanjutnya,” tuturnya.

Dia menyebutkan bahwa Indonesia masih menghadapi masalah tingginya angka kesakitan dan kematian pada balita. Dikatakan Endang, merujuk pada hasil Sampling Registration System pada 2018, bahwa 15 dari 100 kematian neonatus terjadi di rumah. Menurut dia, hal tersebut dapat diartikan bahwa keluarga bisa saja terlambat mengetahui gejala atau tanda bahaya pada balita, serta tidak segera mencari pertolongan bagi balita yang sakit.

Selain itu, data tersebut menunjukkan bahwa 62 dari 100 kematian balita terjadi di rumah sakit. Hal ini, menurut Endang, menunjukkan bahwa akses sampai ke pelayanan kesehatan rujukan sudah baik namun kemungkinan kondisi balita yang dirujuk sudah berat sehingga sulit untuk diselamatkan.

Baca juga: Kemenkes: 3 persen dari 1.090 kematian karena Omicron adalah balita

Baca juga: Kemenkes: Imunisasi PCV tanggulangi kematian balita akibat Pneumonia

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022