Di kota, sastra selalu terlahir lagi. Dalam sastra, kota selalu tercipta kembali
Jakarta (ANTARA) - Kota dan sastra punya hubungan erat. Di dalam karya sastra, kota tak hanya berfungsi sebagai komponen latar yang melengkapi bangun cerita melainkan juga pengimajian ruang hidup yang diterjemahkan pengarang melalui sudut pandangnya. Sementara itu, kota sebagai realitas juga terus bergerak menampilkan ragam keresahan manusia-manusia di dalamnya.

Demikian, keterhubungan kota dan sastra dirajut Jakarta International Literary Festival (JILF) tahun ini lewat tema “Kota Kita di Dunia Mereka: Kewargaan, Urbanisme, Globalisme (Our City in Their World: Citizenship, Urbanism, Globalism)”. Melalui tema ini, Direktur Eksekutif JILF 2022 Avianti Armand mengatakan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ingin menggali dan mempererat hubungan antara kota dan sastra.

Perbincangan termasuk tentang bagaimana kota menjadi lahan subur untuk bertumbuhnya sastra, dan sastra menjadi sumber inspirasi untuk kehidupan kota yang bergairah. Juga tentang bagaimana sastra membingkai konstruksi pengalaman manusia yang nyata dan imajiner, serta bagaimana keterkaitan antara keduanya bisa memperbaiki kehidupan warga kota dalam berbagai aspek.

Baca juga: Sastra dan Kota di Jakarta International Literary Festival

“Di kota, sastra selalu terlahir lagi. Dalam sastra, kota selalu tercipta kembali. Tidak salah jika kita katakan bahwa kota adalah rumah dan asal dari sastra. Dan para penulis membangun berbagai imaji tentang kota di dalam sastra,” kata Avianti saat membuka festival di Taman Ismail Marzuki (TIM), Sabtu (22/10) malam.
 
Direktur Eksekutif Jakarta International Literary Festival (JILF) 2022 Avianti Armand saat malam pembukaan di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (22/10/2022). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)

Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid memandang keterhubungan antara sastra dan kota memiliki kedudukan yang istimewa. Keduanya bersaudara, kata Hilmar. Kadang akrab, kadang bermusuhan, dan kadang dalam ketegangan tetapi hubungannya sangat dekat.

“Dan sastra adalah jalan, saya kira, untuk menginterogasi hubungan itu. Dan tidak ada ekspresi yang lebih kuat daripada kesenian untuk menginterogasi hubungan antara kita dengan wilayah tempat kita tinggal,” katanya.

Menurut Ketua Komite Sastra DKJ Hasan Aspahani, pemilihan tema menjadi relevan usai selama dua tahun dunia dilanda pandemi COVID-19. Masa pelonggaran kali pun dibayangkan sebagai “keterbukaan” momentum saling berbagi pengalaman setelah pandemi membuat ruang seolah “tertutup”.

Mengingat hal tersebut, penyelenggaraan JILF tahun ini tak hanya menghadirkan para penulis dalam dan luar negeri–yang menjadi menu wajib–melainkan juga melibatkan sebanyak mungkin partisipasi warga termasuk melalui komunitas dan kolektif sastra dari berbagai daerah.

Baca juga: 545 peserta bersaing di Kompetisi Bahasa dan Sastra Jawa Yogyakarta

“Kami tidak menegaskan bahwa Jakarta adalah pusat, tidak. Bahwa ini, kita ingin melihat, nih, bareng-bareng, apa yang terjadi di dunia mereka, cara memandang kota kita ini seperti apa,” kata Hasan saat dijumpai ANTARA.

Tak sampai di situ, percakapan mengenai hubungan antara kota dan sastra juga melibas melalui wacana global dengan melibatkan para penulis dari Timor Leste, Malaysia, Amerika-Jepang, Tanzania, dan Somalia.

“Di mata mereka, kota kita ini seperti apa, ya, atau bagaimana, ya, kita melihat mereka di sana. Itu harapannya, menghasilkan dialog yang terbuka, menambah wawasan dan menambah saling pengertian,” ujar Hasan.

Jembatan sastra di antara negara-negara di belahan Selatan

JILF merupakan festival sastra yang hingga kini secara konsisten membawa semangat dialog sastra di antara negara-negara belahan Selatan. Menurut Yusi Avianto Pareanom, konsep tersebut sebetulnya meminjam semangat Konferensi Asia-Afrika yang terjadi pada tahun 1950-an.

Melalui JILF, proyek saling menerjemahkan karya dimungkinkan. Namun tak hanya itu, pasar literasi pun memiliki kemungkinan dapat terbuka di antara Selatan-Selatan tanpa harus diperantarai oleh negara di bagian Utara.

“Selatan-Selatan ini perlu karena biasanya kita membaca karya penulis Selatan setelah diterjemahkan lewat bahasa Inggris. Apakah orang Indonesia kenal karya penulis Singapura, Thailand, Vietnam? Tidak. Orang-orang yang sangat menggemari itu, iya mungkin, tapi persentasenya sangat sedikit,” kata Yusi yang juga Mantan Ketua Komite Sastra DKJ periode sebelumnya.

Semangat tersebut pun jelas tergamblang melalui tema JILF yang diusung pada 2019, yaitu “Pagar”. Hasan Aspahani menambahkan gelaran JILF pertama saat itu berusaha untuk membaca persoalan di mana terdapat kesenjangan antara negara-negara Utara dan Selatan yang terepresentasi di dalam karya sastra.

Baca juga: Festival Sastra Internasional Gunung Bintan 2022 libatkan 350 penyair

“Selatan identik dengan ketertinggalan, makanya tema pertama itu ‘Pagar’. Kami menyadari bahwa ada yang menyekat kita, ada yang memisahkan kita, dan itu terlihat dalam karya-karya sastra. Ketika kita menyadari bahwa pagar itu ada dan apa pagar itu, kita tentu ingin menghilangkan sekat itu, kita ingin melompati itu,” kata Hasan.

Sebagai pembuka atau permulaan, JILF pada 2019 dikatakan berhasil dengan antusiasme tinggi. Festival sastra ini tak hanya perayaan, terdapat pula produksi pengetahuan yang dihasilkan penulis dari beragam negara melalui naskah tertulis yang dicetak pada tahun tersebut.

Festival yang baru hidup seumur jagung, kemudian diterpa dampak pandemi COVID-19 pada 2020 yang harus beralih ke dalam format pertemuan virtual dan pada 2021 ditiadakan sama sekali.

Ketika melihat pengunjung membludak di malam pembukaan JILFF 2022, Hasan menilai antusiasme masyarakat pun mulai kembali terutama atas dasar ingin mengobati rasa rindu dengan hadir secara langsung ke acara-acara kesenian.

Pada tahun ini, setidaknya sebanyak 25 penulis dan 11 komunitas terlibat di JILF. Dalam rentang 22-26 Oktober 2022, total sebanyak 41 program acara dijadwalkan berlangsung dari pagi hingga malam di TIM, mulai dari diskusi, pasar buku, pembacaan karya, dongeng anak, gerai kopi, pameran, pertunjukan teater, hingga musik.

Hasan menilai Indonesia memerlukan lebih banyak festival. Dia sendiri mengandaikan festival, dalam hal ini festival sastra, sebagai pesta panen. Panen hanya akan terjadi apabila orang-orang ikut menanam benih serta merawat dan memupuk dengan baik. Jika tanpa keberlanjutan dalam ekosistem sastra, berfestival pun tidak memiliki alasan kuat untuk dirayakan.

“Kita harus atau sudah melakukan nanam benih sastra yang bagus, penerbitan bagus, kemudian kita rawat sepanjang tahun. Ketika panen, kita berhasil, ada banyak buku karya sastra yang harus dibicarakan dalam festival. Itulah panen kita, festival inilah pesta panennya. Kalau tidak ada buku sastra yang bagus, apa yang mau kita panen,” kata Hasan.

Baca juga: Pakar ajak masyarakat lestarikan bahasa-sastra daerah agar tidak punah

Baca juga: Kemendikbudristek selenggarakan Bulan Bahasa dan Sastra 2022

Baca juga: Akademisi: Perlu upaya bersama pertahankan eksistensi sastra Jawa Kuno

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022