Luwuk Banggai, Sulteng (ANTARA) - Suara Umi Inang tiba-tiba terhenti. Ketua Pimpinan Daerah (PD) Aisyiyah Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah ini harus jeda sejenak. Matanya berkaca-kaca. Umi Inang, panggilan untuk Sri Moxa Jalamang, tak mampu lagi membendung air matanya saat menceritakan perjuangan para relawan Aisyiyah memutus rantai buta aksara dan tulis anak-anak Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Loinang di Dusun Tombiobong, Desa Maleo Jaya, Batui Selatan.

Suku Loinang adalah salah satu suku yang berasal dari Kabupaten Banggai. Mereka dikenal terbiasa tinggal di hutan dengan pola hidup berpindah-pindah (nomaden). Belakangan, mereka perlahan-lahan turun ke permukiman Tombiobong. Mereka menghuni rumah-rumah panggung yang jaraknya agak berjauhan. Rumah tersebut berdinding kayu beratapkan seng. Rumah-rumah tersebut dibangun oleh Dinas Sosial Kabupaten Banggai pada 2013.

Di perkampungan masyarakat adat ini, warganya juga memiliki nama-nama unik, seperti Pesawat, Palu, Filipin, Israel, Dinas, Sekap, Motor, dan Trans. Namun, tidak semua Suku Loinang menetap di Tombiobong. Sebagian lainnya sampai sekarang memilih tetap tinggal di hutan pegunungan batu yang melingkari wilayah Batui.

Relawan Aisyiyah pertama kali masuk ke Tombiobong pada tahun 2017, tergabung dalam tim gugus tugas penanggulangan stunting melakukan agenda bakti sosial. Misi organisasi perempuan ini, menyasar wilayah berisiko stunting agar tepat sasaran dan bermanfaat bagi masyarakat.

Dusun Tombiobong dipilih karena waktu itu, sangat terisolasi. Jauh dari jangkauan masyarakat perkotaan. Selain sarana prasarana yang serba minim, jalan menuju permukiman KAT Suku Loinang penuh tantangan. Naik kendaraan roda empat dari Kota Luwuk Banggai butuh waktu dua setengah hingga tiga jam hingga ke ujung Desa Maleo Jaya, permukiman warga eks transmigrasi dari Jawa dan Bali. Dari Maleo Jaya, lanjut lagi sekitar 20-30 menit untuk tiba di Tombiobong. Itu pun harus menyeberangi sungai dengan batu-batu besar serta melewati jalan setapak penuh semak belukar.

Saat pertama ke Tombiobong, Umi Inang menjumpai sekitar 85 persen warga Tombiobong yang terdiri dari 28-30 Kepala Keluarga (KK) tidak bisa baca tulis. Sebagian besar anak-anak tidak pernah mengenyam pendidikan, termasuk yang usia 10-11 tahun. Marak terjadi perkawinan usia dini dan tidak jarang dijumpai penderita stunting akibat asupan gizi yang sangat terbatas.

Sementara sebagian kecil warga yang mampu bersekolah, harus berjalan kaki sekitar 3 kilometer menuju SD terdekat di Desa Maleo Jaya. Termasuk menyeberangi sungai. Di musim hujan ketika volume air sungai naik dan berarus deras, mereka terpaksa berenang untuk sampai ke seberang. Hal yang sama mereka lakukan saat pulang dari sekolah.

Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, Umi Inang berpikir begitu banyak yang harus dilakukan. Keberadaan sekolah di Tombiobong dinilai menjadi kebutuhan mendasar yang harus diprioritaskan. Keputusan tersebut mendapat sambutan baik warga Tombiobong dan beberapa ibu siap menjadi relawan guru di Tombiobong tanpa menuntut upah.

Pada 2019, Aisyiyah mulai mendirikan TK dengan memanfaatkan bangunan rumah singgah yang tak terpakai. Rahmawati Saleh, Guru TK Tombiobong, masih ingat siswa TK awalnya hanya 12 anak, sebagian besar sudah masuk usia SD. Rahmawati menjemput mereka satu per satu di rumahnya. Ia juga harus membasuh wajah dan badan anak-anak itu terlebih dahulu karena mereka belum terbiasa mandi pagi.
Ketua Pimpinan Daerah (PD) Aisyiyah Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Sri Moxa Jalamang (kanan) yang dipanggil Umi Inang, bersama dengan guru-guru TK/SD di Dusun Tombiobong, Banggai, yang dihuni Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Loinang, Selasa (18/10/2022). ANTARA/Faisal Yunianto.


Pada 2019, Aisyiyah mulai mendirikan TK dengan memanfaatkan bangunan rumah singgah yang tak terpakai. Rahmawati Saleh, Guru TK Tombiobong, masih ingat siswa TK awalnya hanya 12 anak, sebagian besar sudah masuk usia SD. Rahmawati menjemput mereka satu per satu di rumahnya. Ia juga harus membasuh wajah dan badan anak-anak itu terlebih dahulu karena mereka belum terbiasa mandi pagi.

Seiring perjalanan waktu, aksi kemanusiaan Aisyiyah mendapat dukungan dari berbagai pihak. Jembatan gantung untuk pejalan kaki dan motor dibangun di atas sungai oleh Vertical Rescue Indonesia. Termasuk juga program pemberdayaan KAT Loinang dari Joint Operating Body Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi (JOB Tomori), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di bawah pengawasan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Berkolaborasi dengan Aisyiyah, JOB Tomori membangun sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)/TK pada 2019, yang mengarahkan anak untuk mengenal pembelajaran dan bermain bersama. Satu bangunan lainnya juga disiapkan untuk siswa SD.
Anak-anak Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Loinang, sedang mengikuti pelajaran di Sekolah Dasar di Tombiobong, Banggai, Sulawesi Tengah, Selasa (18/10/2022). ANTARA/Faisal Yunianto.



Selain bidang pendidikan, program bercocok tanam atau Kebun Sahabat Alam diperkenalkan pula kepada warga Dusun Tambiobong, agar penduduk tidak lagi berada di dalam hutan dengan waktu yang lama. Program ini mendukung pendidikan yang diberikan kepada anak-anak, agar mereka tidak ditinggalkan saat bersekolah, kata Hidayat Monoarfa, Community Development (Comdev) Officer JOB Tomori.

"Dengan adanya program bercocok tanam, saat ini mata pencarian utama Suku Loinang adalah berkebun jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Mencari rotan dan damar sudah menjadi kebutuhan tambahan saja," ujarnya saat menemani kunjungan media ke Tombiobong, Selasa (18/10/2022).

Hidayat Monoarfa melanjutkan pada tahun 2020, JOB Tomori bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Universitas Hasanuddin melakukan kegiatan intervensi gizi sensitif dan spesifik kepada ibu hamil dan balita untuk pencegahan stunting di Tombiobong. Dari program ini telah membawa perubahan perilaku, dimana ibu hamil sudah bersedia untuk diperiksa di Pos Kesehatan Desa (Poskedes) yang dibangun pemda dan tidak lagi menyembunyikan kehamilannya. Sebelumnya mereka biasa melahirkan sendiri tanpa bantuan tenaga medis. Anak-anak juga dipantau gizinya dengan memberikan makanan tambahan sehat dan vitamin.
Community Development (Comdev) Officer JOB Tomori Hidayat Monoarfa di Dusun Tombiobong, banggai, Sulteng, Selasa (18/10/2022). ANTARA/Faisal Yunianto.


Air bersih

Program tersebut merekomendasikan pula untuk segera membangun fasilitas air bersih bagi warga Tombiobong. Karena selain malnutrisi, kurangnya akses air bersih dan sanitasi yang buruk menjadi penyebab terjadinya stunting pada anak di Indonesia. Menurut riset Kementerian Kesehatan, stunting yang disebabkan oleh tidak adanya air bersih dan sanitasi buruk mencapai 60 persen, sementara yang dikarenakan gizi buruk 40 persen.

Perusahaan kemudian bekerjasama dengan Aisyiyah membuat inovasi Eco Water Elevator, yakni penyediaan akses air bersih tanpa listrik yang telah dialirkan kepada 28 KK masyarakat adat, sekolah dan tempat ibadah.

Sebelum ada pipa air bersih yang disalurkan dari bak penampungan (reservoir) di sungai yang lokasinya sekitar 2.000 meter dari perkampungan, Suku Loinang melakukan MCK (mandi, cuci, kakus) di sungai. Setelah JOB Tomori memfasilitasi sarana air bersih awal tahun ini, 28 KK Suku Loinang tak perlu lagi pergi ke sungai untuk MCK.

Pipa yang digunakan untuk menyalurkan air jernih dari sungai berjenis HDPE ukuran 4 inch sepanjang 960 meter. Selanjutnya, pipa 3 inch sepanjang 672 meter dan pipa 2 inch untuk sambungan ke rumah warga sepanjang 660 meter. Air yang dihasilkan mencapai 253.296 liter per detik, namun aktualnya hanya digunakan 2,5 liter per detik untuk memenuhi rumah tangga warga dusun Tombiobong. Bupati Banggai Amirudin Tamoreka meresmikan sarana air bersih tersebut sekaligus bangunan sekolah pada 12 Juli 2022.

General Manager JOB Tomori Benny Sidik mengatakan program pemberdayaan suku Loinang adalah respons perusahaan atas kebutuhan dan permasalahan masyarakat adat dan terpencil di desa-desa pengembangan sekitar wilayah operasi JOB Tomori.

Kebutuhan dan permasalahan tersebut meliputi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Program Pemberdayaan di dusun Tombiobong merupakan hasil dari pemetaan sosial pada wilayah sekitar operasi JOB Tomori.

Selain pemberdayaan suku Loinang, JOB Tomori menjalankan sejumlah program TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) seperti Komunitas Herbal Batui Selatan (Kalisbatan). Saat ini Kalisbatan memiliki 14 kelompok yang dibinai oleh JOB dengan anggota 280 orang. Hasil produk binaan ini sudah di pasarkan ke sejumlah pulau di luar Sulawesi. JOB Tomori juga mengembangkan empat Rumah Pemberdayaan Ibu Anak (RPIA) di wilayah operasi dan membangun Rumah Tahan Gempa di RPIA Siboli.

"Kami juga ada program Bank Sampah Montolutusan, Desa Ekowisata Sinorang, pertanian agroekologi, dan Desa Ekowisata Banyu Langit yang dikelola oleh BumDes Sumber Mulyo,” ujarnya.

Pesawat, tokoh senior suku Loinang, bersyukur dapat menetap di Tombiobong serta mendapatkan perhatian dari JOB Tomori, Aisyiyah, dan Pemkab Banggai.

Menurut dia, bantuan yang diberikan JOB Tomori dengan menyediakan fasilitas infrastruktur bangunan sekolah dan sarana air bersih dan mengajarkan cara bercocok tanam sudah lebih dari cukup. Kegiatan Pesawat sehari-hari kini menanam jagung, padi dan sudah tidak ke hutan lagi untuk mencari rotan dan damar.

“Semoga saudara kami yang masih tinggal (nomaden) di gunung, bisa turun dan bergabung bersama di sini (Tombiobong),” ungkap Pesawat dalam bahasa Saluang.

Warga KAT Loinang lainnya, Filipin juga mengaku sudah bosan berpindah-pindah dan memilih untuk menetap di Tombiobong bersama istri dan anak-anaknya. Meski begitu, Filipin sesekali masih mencari rotan dan damar di hutan pada saat menunggu panen jagung dan padinya.
 
Filipin dan keluarga, warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Loinang di Dusun Tombiobong, Banggai, Sulteng, Selasa (18/10/2022). ANTARA/Faisal Yunianto.


Umi Inang mengapresiasi dukungan JOB Tomori yang memiliki komitmen yang sama untuk memberdayakan masyarakat suku Loinang melalui pembangunan gedung sekolah dan fasilitas air bersih. Ia juga senang karena anak-anak di Tombiobong kini sudah bisa baca tulis. Sebagian dari mereka bahkan, sudah bisa membantu orang tuanya untuk menghitung hasil rotan yang dijual maupun hasil kebun lainnya.

"Kami juga bersyukur sekarang ada anggaran bagi guru-guru di Tombiobong Rp5 juta per bulan dari bantuan Bupati Banggai," ujarnya.

Hanya saja, hingga saat ini kondisi di Tombiobong belum tersedia jaringan listrik. Sebagian warga masih mengandalkan genset dan aki motor untuk penerangan.

Menurut dia, warga berharap jaringan listrik masuk ke pemukiman adat. Termasuk fasilitas jembatan yang representatif dan bisa dilewati roda empat. Selain itu, perlu ada gedung SMP di Tombiobong, agar anak-anak Suku Loinang bisa melanjutkan pendidikan dengan mudah, tanpa harus berjalan jauh ke luar desa.

"Ini adalah kerja sosial, ibadah. Semoga JOB Tomori dan lainnya bisa terus bermitra dengan kami, memperhatikan komunitas Suku Loinang," kata Umi Inang berharap.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022