KUHP adalah cerminan paling jujur dari peradaban sebuah bangsa bagaimana memandang aturan hukum harus ditaati
Jakarta (ANTARA) - ​​​​​Perdebatan panjang mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas oleh Pemerintah bersama DPR terus bergulir, terutama mengenai 14 pasal yang dinilai bermasalah. Tidak hanya para praktisi, akademikus, dan politikus, kalangan akar rumput pun memperbincangkan 14 butir pasal penting tersebut.

Kepala Negara Joko Widodo telah memerintahkan para menteri dan kepala badan tertentu untuk terus menyosialisasikan kepada masyarakat tentang RKUHP terutama pasal-pasal yang dinilai berpotensi menimbulkan konflik. Tujuannya, agar KUHP yang dihasilkan betul-betul mewakili aspirasi masyarakat Indonesia meskipun diyakini tidak semuanya akan bisa tertampung.

Menurut Juru Bicara sosialisasi RKUHP Albert Aries, sebelum seorang hakim menjatuhkan putusan atau vonis kepada seorang terdakwa maka terdapat suatu pertimbangan, yaitu tujuan dan pedoman pemidanaan. Hal tersebut merupakan sesuatu yang baru karena sebelumnya tidak pernah ada dalam KUHP yang digunakan di ruang-ruang sidang selama ini.

Tujuan pemidanaan yang diatur dalam Pasal 51 dan 52 RKUHP yang tengah disusun setidaknya memiliki lima target. Pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum. Kedua, memasyarakatkan terpidana dengan pembinaan.

Ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat  tindak pidana. Keempat memulihkan keseimbangan, menumbuhkan rasa penyesalan, dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Terakhir ialah tujuan pemidanaan tidak dimaksudkan sebagai merendahkan harkat dan martabat manusia.

Selain itu, sebelum mengetok palu, seorang hakim akan menggunakan pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 54 Ayat (1). Dalam ketentuannya, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Namun, jika keduanya ada pertentangan maka hakim wajib mengutamakan sisi keadilan.

Pada Pasal 54 Ayat (1) tersebut terdapat beberapa poin pertimbangan oleh hakim. Pertama, bentuk kesalahan pelaku, motif dan tujuan tindak pidana, sikap batin pelaku, tindak pidana dilakukan terencana atau tidak dan cara melakukan tindak pidana.

Berikutnya, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana, riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku. Kemudian termasuk juga tentang pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku dan korban, pemaafan dari pihak keluarga korban atau korban, dan terakhir nilai hukum serta keadilan yang hidup dalam masyarakat.

"KUHP adalah cerminan paling jujur dari peradaban sebuah bangsa bagaimana memandang aturan hukum harus ditaati," tukas Albert.


Alasan RKUHP disahkan

KUHP yang digunakan oleh aparat penegak hukum saat ini dibuat oleh Belanda pada tahun 1800 dan mulai diterapkan di Tanah Air pada tahun 1918. Kemudian pada tahun 1958 pemerintah Indonesia mulai melakukan pembaharuan "Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie" (WvS) atau yang dikenal dengan KUHP. Hal itu ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN).

Dari perjalanan panjang tersebut, upaya pemerintah bersama DPR dalam mengesahkan dan melahirkan KUHP yang baru sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Proses panjang selama berpuluh tahun tersebut juga melibatkan banyak masukan dari berbagai kalangan.

Perlunya KHUP baru untuk segera disahkan juga tidak lepas dari KUHP saat ini yang sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini. Perkembangan zaman yang ditandai dimulai atau akan dimulainya era 5.0 mengharuskan tatanan atau aturan hukum juga harus menyesuaikan.

Jika masih menggunakan atau bersikukuh pada KUHP yang lama maka dinilai menimbulkan permasalahan-permasalahan baru terutama soal rasa keadilan. Sebagai contoh tentang ketidakpastian hukum untuk mengadili seseorang.

"Pengesahan RKUHP semata-mata untuk up to date disesuaikan dengan perkembangan zaman," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) RI Prof. Edward Omar Sharif Hiariej.

Meskipun KUHP harus segera disahkan, ia mengakui hal itu bukan perkara mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Sebagai gambaran dan perbandingan, Belanda yang hanya memiliki jumlah penduduk sekitar tujuh juta jiwa dan bersifat homogen, membutuhkan waktu 70 tahun untuk melahirkan KUHP.

Sementara Indonesia yang luasnya seperdelapan dunia ditambah faktor banyak etnis, banyak agama, serta kebudayaan yang beragam, maka waktu 64 tahun terakhir dalam memperjuangkan KUHP yang baru bisa dikatakan bukanlah sesuatu yang terlambat.

Dengan keberadaan Indonesia yang penuh dengan keberagaman tersebut, maka menghasilkan KUHP yang baru diyakini tidak akan bisa sempurna seperti yang diharapkan semua pihak. Setidaknya hal itu ditandai pro dan kontra terhadap RKUHP yang saat ini masih digodok oleh Pemerintah bersama DPR.

Kendati demikian, pemangku kepentingan terkait tetap akan berusaha mencari solusi-solusi terbaik agar bisa mengakomodasi semua saran dan masukan dari masyarakat termasuk kalangan akar rumput sekalipun.

Dalam suatu kesempatan, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut mengatakan hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling "sial". Alasannya, nature dari hukum pidana itu sendiri lebih berorientasi pada negara dibandingkan warga negara.

Dengan kata lain, negara memposisikan dirinya lebih tinggi dibandingkan warga negaranya. Hal itu tentu saja selalu mendapat kritikan dari berbagai kalangan karena dianggap mengekang hak asasi manusia seseorang.

"Hukum pidana itu sedikit banyaknya mengekang hak asasi manusia," kata dia.

Selain mengusung KUHP yang sesuai dengan nilai-nilai keIndonesiaan, terdapat sejumlah pembaharuan di antaranya hilangnya perbedaan kejahatan dengan pelanggaran. Saat ini, terdapat tiga buku KUHP yang digunakan yakni tentang ketentuan umum, KUHP tentang kejahatan, dan KUHP tentang pelanggaran.

Untuk kejahatan sendiri dianggap lebih parah dibandingkan pelanggaran. Sementara, dalam RKUHP pembedaan keduanya sudah tidak ada dan disebut sebagai tindak pidana. Selain itu, pembaharuan lainnya dalam RKUHP ialah perumusan double track system atau dua jalur.

Artinya, selain penjatuhan pidana juga ada tindakan yang dikenakan kepada terpidana. Penerapan double track system dalam RKUHP dinilai sebagai suatu upaya menegakkan keadilan restoratif. Dengan kata lain, penghukuman kepada terdakwa atau orang yang bersalah tidak lagi bersandar pada ajang pembalasan seperti yang diatur dalam KUHP saat ini.

Terakhir, mengenai pro dan kontra beberapa pasal dalam RKUHP, di antaranya, Pasal 2 Ayat (1) yang mengatur soal hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law), pengakuan dan penghormatan terhadap pasal tersebut bukan untuk menghidupkan kembali pengadilan adat.

Akan tetapi, hal tersebut ditujukan untuk memastikan hukum yang masih hidup di tengah masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, konstitusi, dan asas-asas hukum yang berlaku maka bisa diformilkan dalam peraturan daerah (perda).

Untuk sanksi sendiri ialah pemenuhan kewajiban adat yang dianggap sebanding dengan denda kategori dua atau sekitar Rp10 juta.

Berbagai masukan, saran, dan kritik dari elemen masyarakat mengenai RKUHP diharapkan menjadi bahan evaluasi atau pertimbangan oleh pemerintah saat melanjutkan pembahasan RKUHP bersama DPR.

Sehingga panduan hukum yang dilahirkan betul-betul mewarnai rasa keadilan dari Sabang sampai ke Merauke serta menggoreskan tinta legacy atau warisan yang akan dikenang oleh masyarakat.




Editor: Achmad Zaenal M

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022