Magelang (ANTARA) - Dalam pengarahan kepada para petinggi kepolisian di Istana Negara Jakarta, Jumat (14/10), Presiden Joko Widodo mengingatkan tentang pentingnya polisi menjalani gaya hidup secara sederhana.

Pernyataan Presiden tersebut nampaknya untuk memulihkan nama baik institusi Bhayangkara itu, akibat peristiwa yang melibatkan sejumlah oknum hingga menghebohkan dan bahkan boleh dikatakan memalukan bangsa serta negara.

Sejumlah peristiwa itu, terkait dengan pembunuhan anggota oleh terdakwa seorang jenderal polisi, sangkaan keterlibatan jenderal polisi dalam kasus narkoba, dan tragedi gas air mata di Stadion Kanjuruhan yang juga membuat nama baik kepolisian butuh perbaikan. Proses hukum atas peristiwa tersebut sedang berjalan.

Bergaya hidup sederhana juga terkait dengan pentingnya mereka memperkuat radar kepekaan terhadap keadaan masyarakat saat ini yang sedang bangkit, memulihkan kehidupan dari dampak pandemi COVID-19, dan kesiagaan membangun benteng mental dari ancaman dampak krisis global ke depan.

Gaya hidup polisi yang bermewah-mewah seakan mengingkari asal-muasal kisah terbentuknya pasukan Bhayangkara pada masa Kerajaan Majapahit. Mereka yang yang berasal dari kalangan rakyat biasa itu menjadi pasukan elite pada masanya dengan tugas menjaga stabililtas kerajaan dan ketertiban masyarakat.

Novel sejarah karya Bre Redana, "Dia Gayatri", menceritakan Raja Majapahit Jayanaga (1294-1328) merekrut personel menjadi pasukan khususnya bernama Bhayangkara. Personel pasukan itu, justru berasal dari kalangan rakyat biasa. Rakyat biasa identik dengan kesederhanaan.

Dengan dipimpin Gajah Mada, sosok yang disebut penulis novel itu, tidak jelas asal-usulnya, kecuali beribu dari Bali, pasukan Bhayangkara menyelamatkan Raja Jayanagara dari pemberontakan Ra Kuti (1309), lalu bekerja keras memulihkan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.

Polisi dengan para petingginya saat ini pun tidak dapat dimungkiri berasal dari masyarakat. Sasaran tugas pengabdian dan pengayoman mereka kepada warga, guna menghadirkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Demikian pula daya empati, peduli, dan kepekaan mereka untuk kepentingan masyarakat.

Apalagi kalau sekadar penelusuran dukungan ongkos mereka untuk mengemban tugas itu, karena dibayar dari pajak rakyat. Semakin besar tanggung jawab dan kian tinggi kedudukan kuasa mereka, maka lumrah jika semakin besar gaji yang diterima dari uang rakyat.

Namun, kedudukan makin tinggi dengan kuasa makin kuat diimbangi gaji besar pula yang tak jarang melesatkan manusia memasuki gaya hidup mahal dan bermewah-mewah. Energi memasifkan tumpukan kekayaan seolah-olah tak terbendung menjadi jalan hedonistik.

Jadilah lupa daratan dan lalai rakyat sederhana. Dikiranya harta kekayaan yang material menjadi kebutuhan jiwa, padahal banda (modal) merupakan kebutuhan raga. Melalui wejangan "Kawruh (Pengetahuan) Jiwa", Ki Ageng Suryomentaram menyebut keadaan tersebut sebagai "salah kedaden" (sesuatu yang salah terjadi). Keberadaan ditentukan banda dan kesederhanaan menjadi berharga mahal.

Legitimasi Jokowi menyampaikan pentingnya para petinggi kepolisian bergaya hidup sederhana terkesan sedemikian kuat, bukan semata-mata kedudukan dan kuasanya saat ini sebagai presiden, akan tetapi memang sosok kepribadiannya yang bersahaja dan bahkan berasal dari rakyat biasa yang menjalani kehidupan hingga posisinya sekarang sebagai RI-1.

Namun, pernyataan presiden tentang gaya hidup sederhana itu penting juga kiranya diunduh oleh para elite atau petinggi lainnya karena eksistensi mereka yang memang tidak lepas dari rakyat. Dari rakyatlah mereka berada. Tanpa rakyat, mereka juga tak menempati posisi pentingnya sekarang. Dengan atas nama rakyat pula, mereka dalam berbagai posisi saat ini beroleh legitimasi sebagai pemimpin.

Oleh karenanya, hadir di tengah rakyat dalam kesederhanaan yang autentik akan lebih diterima ketimbang secara instan bersusah payah memoles diri menjadi sosok sederhana agar dianggap dekat rakyat.

Jikalau tak hendak muluk-muluk memahami pengertian ilmiah kebahasaan tentang "sederhana", negeri ini mempunyai segudang taburan sosok teladan tentang itu. Tinggal kemauan siapa saja untuk belajar dan berproses dengan tekun menggali usaha mengunduh nilai dan makna kesederhanaan itu menjadi habitus.

Sebut saja, di antara para sosok teladan kesederhanaan itu misalnya Mohammad Hatta (1902-1980), Hoegeng Imam Santoso (1921-2004), Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1940-2009), dan Buya Ahmad Syafii Maarif (1935-2022).

Selain itu, bisa juga tentang petani sederhana bernama Marhaen yang dikisahkan Soekarno untuk memahami tentang kepemilikan dan jati diri sehingga hidup sederhana itu tak menjadi mahal, atau menggali secara reflektif tentang proses pendidikan generasi muda yang menjalani kehidupan sebagai santri di berbagai pondok pesantren, atau mereka lainnya yang melakukan "formatio" atau pembentukan diri melalui pendidikan di seminari.

Tentu, masih banyak tokoh teladan kesederhanaan ataupun jalan pembelajaran edukatif tentang nilai-nilai hidup sederhana yang tetap bisa digali di seantero negeri ini dari generasi ke generasi, termasuk di tataran lokal.

Sesungguhnya kemajuan perkembangan dunia teknologi informasi juga tak hendak mendorong manusia di jagat ini dibawa kepada kemewahan hidup, apalagi hidup secara hedonistik. Dunia maya memang ada yang menganggap sebagai ajang setiap orang menghadirkan eksistensialnya, yang mungkin mengesankan kemewahan.

Di kalangan spiritualis, rasanya memandang kemajuan teknologi informasi dalam wujud dunia maya dan media sosial justru untuk memperkuat martabat kemanusiaan yang di dalamnya nilai-nilai luhur hidup sederhana berada.

Ungkapan tentang pentingnya bermedia sosial secara sehat menjadi salah satu seruan mereka. Dalam praktik berfondasikan nilai-nilai kesederhanaan, jagat itu bisa untuk saling berbagi kepedulian, menggalang solidaritas, saling menguatkan semangat, atau ajang penuntun sesama untuk keluar dari kesulitan.

Dunia maya menempatkan mereka yang berposisi sebagai pemberi bukan hadir sebagai sosok mewah, sedangkan pihak diberi bukan berposisi nista. Dalam dunia digital, boleh jadi memang ada kesan kedua pihak hadir sebagai sesama warga manusia lumrah.

Pandangan zadul bahwa petinggi atau elite memiliki kecenderungan mudah bermewah-mewah, sedangkan rakyat biasa dilingkupi identitas kesederhanaan. Keduanya sebagai dua pendulum yang saling menempatkan kecenderungan --mewah dan sederhana-- sebagai saling berharga mahal atau sulit disentuh secara autentik.

Namun, dalam buku "Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi", pengajar filsafat Unversitas Katolik Parahyangan Bandung Bambang Sugiharto mengemukakan tentang mobilitas batin yang membuat seseorang memiliki kemampuan menemukan tempat baginya di antara berbagai dunia dan konteks berbeda.

Pada era "post-tradisi" ini boleh jadi memang berlangsung mobilitas batin yang membuat hal-ihwal tentang kemewahan dan kesederhanaan bukan lagi dua pendulum berbeda, tetapi terjadi dialektika, sehingga bisa saling bersentuhan dengan mesra, rileks, dan natural.

Dibutuhkan petinggi atau para elite berkepribadian mumpuni untuk melakukan mobilitas batin, sehingga bisa menghindar dari tawaran bermewah-mewah dan menghadirkan gaya hidup sederhana dengan murah meriah, namun tetap bermuruah.

Untuk yang demikian, rakyat tentu bakal merasakan jati diri kemewahan hidup sederhananya dengan bungah.

 

Copyright © ANTARA 2022