Jakarta (ANTARA) - Pakar Komunikasi Politik Tjipta Lesmana mengatakan calon presiden (capres) harus memiliki modal komunikasi politik yang memadai sebagai salah satu syarat sebagai pemimpin.

"Setiap calon presiden harus memiliki kemampuan kompol, komunikasi politik, harus punya political communication skills yang memadai," kata Tjipta dalam diskusi daring bertema "Menerawang Kepemimpinan Nasional di 2024" dipantau di Jakarta, Kamis. 

Menurutnya, komunikasi sangat penting dimiliki oleh setiap capres, di mana hal tersebut salah satunya dibutuhkan ketika untuk berkampanye.

"Kalau mau jadi presiden dia musti kampanye kan, kampanye keliling-keliling. Nah, kampanye itu menggunakan kompol, komunikasi politik," ujarnya.

Ia kemudian membeberkan sejumlah teori dalam komunikasi politik, di antaranya fear-arousing communications atau komunikasi yang membangkitkan rasa takut hingga propaganda dan psychological warfare (perang urat syaraf) untuk menundukkan lawan calon lainnya.

"Komunikasi politik tentu menggunakan banyak strategi-strategi," ucapnya.

Selain modal komunikasi politik yang memadai, ia juga mengatakan calon presiden harus cukup dikenal atau populer. Kemudian, ujarnya lagi, harus memiliki partai politik yang menunjang lantaran adanya pemberlakuan sistem presidential threshold.

Guru Besar Ilmu Komunikasi Politik itu mengatakan pula capres harus memiliki modal kepintaran hingga karakteristik, serta keberanian.

Sementara itu, Ketua Relawan Pendekar Indonesia (Pendukung Andika Perkasa untuk Indonesia) Hendrawan Saragi mengatakan seorang pemimpin harus memiliki aspek keindahan dalam hal ketegasan, integritas, serta proporsi yang cerdas dan pantas dalam menunjukkan kejelasan warnanya.

"Tiga hal ini yang menjadi kriteria," ucapnya.  

Hal tersebut, katanya, lantaran pengalaman berbangsa dicirikan oleh tiga kemampuan yang terintegrasi yaitu pengenalan akan kebenaran, keadilan dan keindahan.

Ia juga menekankan penggunaan akal sehat yang merupakan kombinasi kebijaksanaan dan kehati-hatian dalam hal-hal praktis keindahan berbangsa.

Hal tersebut, kata Hendrawan, karena saat ini politik identitas menjadi permasalahan yang dihadapi bangsa. Ia menilai politik identitas sebagai bentuk yang paling primitif karena menilai seseorang bukan berdasarkan karakter dan tindakannya, melainkan karakter dari kelompok.

"Kita bisa melihat ada kehadiran ekstrim politik yang sebetulnya tidak pantas kita ucapkan seperti 'cebong' dan 'kadrun', itu kan sangat tidak sopan," ujarnya.

Politik identitas, ujarnya lagi, menimbulkan tantangan bagi berbangsa karena dapat menyebabkan hilangnya kemauan untuk bekerjasama dan enggan hidup bersama. Sehingga, sambungnya, memisahkan masyarakat dari konsepsi sejarah tentang berbangsa Indonesia.

"Sehingga kita bisa melihat saat ini pilihan politik itu sudah menggantikan etnik, ras, keluarga dan preferensi sehari-hari," kata Hendrawan.

Baca juga: Pengamat: Calon presiden nasionalis-religius masih berpeluang di 2024

Baca juga: Saragi: Andika Perkasa layak diperhitungkan sebagai calon presiden

Baca juga: Survei: Puan AHY dan Andika tiga besar elektabilitas cawapres

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2022