Palu (ANTARA News) - Sebelas pengikut Madi, Sabtu, dituntut hukuman masing-masing 20 tahun penjara, karena dinilai jaksa/penuntut umum (JPU) terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap tiga anggota polisi dalam tragedi "Salena Berdarah" pada 25 Oktober 2005. Para terdakwa dari komunitas adat terpencil Tolare yang menghuni kaki Gunung Gawalise di pinggiran Kota Palu yang dituntut hukuman tersebut, berinisial Ar (25), Bam (40), Nang (24), Has (30), dan Oli (25). Lainnya, adalah Sah (30), Asa (40), Lai (35), Kah (25), Ray (42), dan As (26). Dalam persidangan majelis hakim di PN Palu diketuai Pahala Simandjuntak SH, tim JPU dari Kejati Sulteng terdiri atas A. Pujianto SH dan I Made Sukerta Spd, SH, menyatakan ke-11 terdakwa terbukti secara meyakinkan melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP sebagaimana termuat dalam dakwaan primair. Perbuatan yang dilakukan para terdakwa, antara lain melakukan penganiayaan terhadap AKP Imam Dwi Herianto (Kasat Intelkam Polresta Palu), AKP Fuadi Chalis (Kasat Samapta Polresta Palu), dan Briptu Arwan (anggota Polsek Palu Barat) dengan cara direncanakan, hingga ketiganya tewas mengenaskan. Perbuatan itu juga dilakukan secara sendiri atau bersama-sama dengan Madi, tokoh ajaran "agama-adat" yang menjadi pemimpin mereka yang hingga kini masih melarikan diri. Masih, menurut JPU, para terdakwa terbukti menguasai, memiliki, dan menyimpan senjata tajam dengan tanpa izin seperti termuat dalam dakwaan subsidair, termasuk di antaranya menguasai sebuah senjata api genggam (pistol) hasil rampasan dari korban. Beberapa pertimbangan JPU sehingga menuntut dengan hukuman sangat tinggi, antara lain para terdakwa selalu memberikan keterangan berbelit-belit selama persidangan berlangsung, selain korban yang mereka aniaya hingga tewas adalah aparat kepolisian. Selama kasus "Salena Berdarah" digelar di PN Palu sejak 25 Januari lalu, pemeriksaan para terdakwa umumnya menggunakan bahasa daerah Kaili Da`a sehingga membutuhkan penterjemah, karena para hakim, JPU, dan penasehat hukumnya bukan penduduk asli setempat. Proses pemeriksaan para terdakwa pun displit (dipisahkan) dalam tiga berkas, sehingga kegiatan persidangannya dilakukan sebanyak tiga kali secara maraton pada setiap hari sidang. Ketika ketua majelis hakim, Pahala Simandjuntak, mengkonfrontir materi tuntutan JPU, semua terdakwa menyatakan penolakannya dengan alasan tidak terlibat. Bahkan, Lai, satu dari empat terdakwa yang diajukan dalam sidang pertama, meminta majelis hakim melakukan sumpah pocong soal tuduhan pelaku pembunuhan yang dialamatkan kepada dirinya. "Saya (sebagai muslim) siap menjalani sumpah pocong untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah," tutur Lai dengan suara agak sedikit keras menggunakan bahasa daerah. Tragedi Salena pada 25 Oktober 2005 bermula ketika belasan personil polisi dari Polresta Palu hendak menangkap tokoh spritual Madi untuk dimintai keterangan sehubungan adanya laporan bahwa yang bersangkutan telah menyebarkan ajaran sesat, seperti menganggap dirinya sebagai Tuhan. Madi (33) yang mendalami ilmu pengobatan tradisional juga dikabarkan sempat mengancam sejumlah penduduk di sekitar lokasi yang menjadi tempat mengembangkan ajarannya, Dusun Salena II (sekitar 10km arah barat dari pusat Kota Palu), karena menolak dijadikan pengikut. Ketika para petugas melakukan penggerebekkan sekaligus menangkap Madi yang tengah melakukan upacara adat di pusat lokasi penyebaran agamanya, tiba-tiba mereka dikepung puluhan pengikut Madi yang sudah siap dengan berbagai senjata tajam tradisional.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006