kapitalisme hingga saat ini belum mampu mengangkat warga dunia dari kemiskinan
Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Rokhmin Dahuri meraih gelar profesor kehormatan dari Departemen Kerjasama Pembangunan Internasional Universitas Shinhan Korea Selatan.

"Sungguh suatu kehormatan dan kehormatan besar bagi saya untuk menerima profesor kehormatan," ujarnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

Rokhmin berjanji melakukan yang terbaik untuk berkontribusi dalam upaya kolaboratif, terpadu, dan berkelanjutan dengan semua pemangku kepentingan untuk menjadikan Universitas Shinhan sebagai salah satu universitas kelas dunia terbaik dalam waktu dekat.

Dalam kesempatan itu, ia memaparkan sejak revolusi industri pertama tahun 1753, kapitalisme telah membuat perekonomian dunia tumbuh sangat pesat sebesar tiga sampai empat persen per tahun. Produk domestik bruto global tumbuh dari 0,45 triliun dolar AS menjadi 100 triliun dolar AS pada tahun 2019.

Menurutnya, sebelum tahun 1750-an sebagian besar negara di dunia miskin. Sejak itu jumlah dan persentase orang miskin dunia menurun.

Apalagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipicu oleh orientasi mencari keuntungan dari kapitalisme sangat fenomenal yang membuat hidup manusia lebih sehat, lebih mudah, lebih cepat, dan lebih nyaman.

"Namun, kapitalisme hingga saat ini belum mampu mengangkat warga dunia dari kemiskinan. Kesenjangan antara penduduk kaya versus penduduk miskin (ketidaksetaraan ekonomi) baik di dalam maupun antarnegara semakin melebar,” kata Rokhmin.

Sebelum pandemi COVID-19, papar Rokhmin, sekitar 1,3 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses listrik, 900 juta penduduk tidak memiliki akses air bersih, 2,6 miliar penduduk tidak memiliki akses sanitasi yang sehat, dan sekitar 800 juta penduduk pedesaan tidak memiliki akses ke jalan segala cuaca dan terputus dari dunia di musim hujan.

Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2020, sekitar 1 miliar penduduk dunia masih hidup dalam kemiskinan ekstrem dengan pengeluaran kurang dari 1,25 dolar AS per hari dan sekitar 3 miliar orang (40 persen populasi dunia) tetap miskin dengan pengeluaran harian kurang dari 2 dolar AS.

“Ironisnya dengan PDB dunia sebesar 100 triliun dolar AS dan jumlah penduduk dunia sekitar 7,4 miliar jiwa, jika merata maka rata-rata PDB per kapita dunia menjadi 12.500 dolar AS. Ini berarti bahwa semua warga negara di dunia akan sejahtera,” jelasnya.

Rokhmin menuturkan dunia membutuhkan sistem ekonomi baru yang melepaskan altruisme sebagai kekuatan kreatif yang sama kuatnya dengan kepentingan pribadi. Sistem ekonomi yang mampu menghasilkan pertumbuhan hijau yang inklusif secara berkelanjutan, dan menjadikan dunia nol kemiskinan, nol pengangguran, dan nol emisi karbon bersih.

Pada tataran praktis, ekonomi kapitalis yang ada harus diubah menjadi ekonomi hijau dan biru (ekonomi melingkar) karena material digunakan kembali, diproduksi ulang atau didaur ulang yang secara signifikan dapat mengurangi limbah dan emisi karbon.

Ekonomi melingkar membuat peralihan untuk memperpanjang masa pakai produk, menggunakan kembali, dan mendaur ulang untuk mengubah sampah menjadi produk dan kekayaan yang bermanfaat.

Menurutnya, ini adalah sistem ekonomi yang tidak menghasilkan limbah dan emisi; namun menghasilkan lebih banyak barang dan jasa, menciptakan lebih banyak kesempatan kerja, menyumbangkan modal sosial, dan tidak memerlukan biaya yang lebih tinggi.

Ekonomi melingkar menangani isu-isu keberlanjutan yang lebih dari sekadar pelestarian. Ini melibatkan regenerasi dan memastikan bahwa ekosistem alami dapat mempertahankan jalur evolusinya, sehingga semua orang dapat memperoleh manfaat dari aliran kreativitas, adaptasi, dan kelimpahan alam yang tak ada habisnya.

Maka, lanjutnya, dengan menerapkan generasi teknologi industri 4.0 termasuk artificial intelligence, internet of things, nanoteknologi, bioteknologi, dan energi terbarukan, ekonomi melingkar akan membangun ekonomi rendah karbon, hemat sumber daya, dan kompetitif pada abad ke-21.

“Akhirnya, semua kebijakan pemerintah harus kondusif bagi penerapan paradigma ekonomi baru tersebut. Indikator kinerja pemimpin harus mencakup tidak hanya pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kesejahteraan rakyat, keadilan, dan kualitas lingkungan dan keberlanjutan,” pungkas Rokhmin yang merupakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB tersebut.


Baca juga: Rokhmin: Kehadiran Bandara Bali Utara tingkatkan kesejahteraan nelayan
Baca juga: SPPI: Keunggulan ABK Indonesia terkendala penguasaan bahasa asing
Baca juga: Mantan Menteri KKP dorong pendekatan ilmiah majukan masyarakat pesisir

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022