"Selanjutnya, strategi kedua adalah melakukan pengembangan dan pemajuan pusat riset sastra Jawa Kuno sebagai gerbang untuk mengeksplorasi sistem ilmu pengetahuan lokal Nusantara, seperti usada nilai-nilai luhur agama, wariga, tutur, kanda, itihasa, b
Jakarta (ANTARA) - Koordinator Staf Khusus Presiden RI AAGN Ari Dwipayana mengatakan diperlukan adanya aksi afirmasi dalam melindungi dan melestarikan sastra Jawa Kuno, termasuk program studi dan para penekunnya, agar tidak mengalami kepunahan.

"Tidak bisa tidak ada perlindungan, proteksi. Harus ada aksi afirmasi pada program studi dan juga penekun Jawa Kuno,” kata Ari dalam seminar nasional bertajuk Pemajuan dan Penguatan Sastra Jawa Kuno di Tengah Persaingan Global yang diselenggarakan oleh Universitas Udayana di Bali, Jumat, sebagaimana dikutip dalam siaran pers yang diterima di Jakarta.

Menurutnya, perlindungan terhadap profesi tersebut bernilai penting untuk dilakukan di tengah kondisi para penekun sastra dan bahasa yang merupakan anak-anak muda, namun mereka juga dihadapkan pada pilihan pekerjaan lainnya yang cenderung lebih dianggap dapat memberikan kepastian untuk bertahan hidup.

Lalu, perlindungan dan pelestarian itu juga dapat mendorong sastra Jawa Kuno beradaptasi dengan perkembangan zaman dan semakin digemari kawula muda sehingga tidak akan mengalami kepunahan.

Lebih lanjut, Ari menyampaikan terdapat tiga strategi utama agar sastra Jawa Kuno tetap dapat lestari. Pertama, kata Ari, dibutuhkan proteksi atau perlindungan dari negara, baik pemerintah pusat maupun daerah. Perlindungan itu dapat dilakukan oleh pemerintah dengan menjadikan sastra Jawa Kuno sebagai warisan budaya bangsa yang harus dijaga kelestariannya serta menghadirkan beragam kebijakan afirmasi, seperti alokasi anggaran untuk riset dan pendidikan sastra Jawa Kuno.

Selain itu, rekrutmen dan pengembangan dosen, beasiswa mahasiswa, serta afirmasi pada rekrutmen lulusan pun perlu menjadi perhatian.

"Selanjutnya, strategi kedua adalah melakukan pengembangan dan pemajuan pusat riset sastra Jawa Kuno sebagai gerbang untuk mengeksplorasi sistem ilmu pengetahuan lokal Nusantara, seperti usada nilai-nilai luhur agama, wariga, tutur, kanda, itihasa, babad, dan tantri," ucap Ari.

Pusat riset itu diharapkan mampu memiliki jejaring internasional, universitas, dan filantropis yang terkesima dengan warisan khazanah sastra dari Nusantara yang masih tersimpan.

Ari juga menyampaikan bahwa strategi tersebut menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya mampu menjadi penerjemah, tetapi juga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang terekam di lontar-lontar berbahasa Jawa Kuno.

Berikutnya, strategi ketiga adalah pembudayaan sastra Jawa Kuno yang bukan lagi di tataran elite, seperti nama gedung, melainkan menyasar kalangan anak-anak muda, seperti menghadirkan gerakan "milenial nyastra". Dengan demikian, mereka mencintai sastra Jawa Kuno dengan menggunakan dengan cara kekinian.

Ari menilai ketiga strategi tersebut bernilai penting di tengah fenomena mulai punahnya ribuan bahasa di dunia.

“UNESCO pada tahun 2011 memetakan sekitar enam ribu bahasa di dunia dan sekitar 40 persen berada dalam posisi terancam yang di dalamnya empat persen sudah punah,” ujar dia.

Sementara itu, berdasarkan data dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud, dari pemetaan sebanyak 718 bahasa daerah di Indonesia, sebelas bahasa telah dinyatakan punah. Di antaranya, bahasa Tandia dari Papua, Mawes dari Papua Barat, Ternateno dari Maluku Utara, dan Kajeli dari Maluku.

Di samping itu, ada pula empat bahasa daerah dalam kondisi kritis, di antaranya bahasa Reata dari Alor, NTT dan bahasa Saponi dari Waropen, Papua.

Dukungan senada mengenai perlindungan dan pelestarian sastra Jawa Kuno disampaikan pula oleh Koordinator Program Studi Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana I Nyoman Suarka. Suarka mengingatkan semua pihak untuk mendukung sastra Jawa Kuno dapat tetap lestari.

“Marilah kita semua menumbuhkan kesadaran dengan mengangkat kembali sastra Jawa Kuno walau dalam hal sekecil apa pun,” ujar Suarka.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2022