"Begitu juga dengan wartawan. Kalau tidak punya ilmu tentang jurnalistik dan tidak memahami kode etik jurnalistik, maka dia bukan seorang wartawan," ujar dia.
Padang (ANTARA) - Tokoh Pers Sumatera Barat Heranof Firdaus mengimbau instansi tidak melayani wartawan abal-abal atau bermutu rendah karena dalam menjalankan tugas jurnalistik mengabaikan Undang-Undang Pers, Kode Etik, dan aturan Dewan Pers.

"Kebebasan Pers di Indonesia selain berdampak positif juga berimplikasi negatif dengan menjamurnya wartawan yang menyalahgunakan profesinya atau kerap disebut wartawan abal-abal, karena itu instansi diminta tidak melayani," kata dia di Padang, Senin.

Mantan Ketua PWI Sumbar itu menekankan ada tiga hal yang perlu diperhatikan apabila seseorang menyatakan profesinya sebagai wartawan.

"Pertama, harus punya ilmu tentang jurnalistik. Kedua, memahami kode etik jurnalistik karena tidak ada profesi di dunia ini yang tidak mempunyai kode etik," kata dia.

Menurut dia, pengacara dan dokter yang merupakan profesi top sekali pun, punya kode etik yang harus dipatuhi.

"Begitu juga dengan wartawan. Kalau tidak punya ilmu tentang jurnalistik dan tidak memahami kode etik jurnalistik, maka dia bukan seorang wartawan," ujar dia.

Kemudian yang ketiga, wartawan itu punya organisasi. Di Indonesia, ada 26 organisasi wartawan. Namun yang diakui sebagai organisasi yang terverifikasi oleh Dewan Pers, hanya PWI, AJI, IJTI, SMSI dan AMSI.

Ia menceritakan istilah wartawan abal-abal, muncul di era Ketua Dewan Pers dijabat oleh Yosep Stanley Adi Prasetyo yang saat itu banyak oknum wartawan yang tidak punya identitas, organisasi dan berintegritas.

"Identitas yang dimaksud adalah medianya terverifikasi dan wartawannya berkompeten," ujarnya.

Ia juga menyoroti karya wartawan abal-abal yang kerap tidak bermutu dan merugikan pihak lain.

"Wartawan abal-abal, sering kali berkolaborasi dengan LSM untuk mendapatkan data lembaga negara. Dan, data tersebut kemudian dijadikan sebagai negosiasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok," ujarnya.

Ia menyampaikan negosiasi yang dimaksud bisa meminta uang agar data yang didapat tidak dibocorkan ke publik. Ini sama dengan menakut-nakuti dan bisa dikatakan pemerasan sehingga bisa dilaporkan ke polisi.

Heranof mengakui sulit memberantas wartawan abal-abal. Kalau di PWI, selain ada kode etik wartawan, juga ada kode perilaku. Karena, wartawan itu tidak hanya menjaga kualitas beritanya, tapi juga menjaga perilakunya.


Ia pun mengimbau semua instansi, baik pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta untuk tidak perlu melayani wartawan abal-abal, termasuk untuk negosiasi.

"Sejatinya, wartawan itu bukan negosiator, wartawan itu adalah pewarta atau mencari berita untuk dilaporkan. Kalau ada wartawan abal-abal, sebaiknya tidak perlu dilayani," ujarnya.

 

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2022