Jakarta (ANTARA) - Oleh Penulis Xinhua Guo Yage

Ketika para pemimpin dunia berkumpul di Asia dalam sepekan terakhir untuk melangsungkan dua pertemuan multilateral besar secara berurutan, satu hal yang terlihat jelas adalah mereka bersedia duduk bersama untuk mencari cara mengatasi banyak tantangan paling mendesak di dunia meski berbagai perbedaan tetap ada.

Sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 20 (Group of 20/G20) yang digelar pada Selasa (15/11) dan Rabu (16/11) di Pulau Bali, ada beberapa pembicaraan pesimistis bahwa hambatan bisa terlalu berlebihan untuk mencapai konsensus. Lagi pula, KTT tersebut dilatarbelakangi oleh serangkaian krisis global yang mengkhawatirkan, termasuk ekonomi dunia yang lesu, persaingan geopolitik yang meningkat, dan Bumi yang memanas.

Saat komitmen terhadap perdamaian dan keterbukaan diperbarui serta sejumlah perjanjian dibuat untuk mendorong pemulihan yang lebih kuat dan pembangunan berkelanjutan pada KTT G20 dan Pertemuan Pemimpin Ekonomi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation/APEC) setelahnya di Bangkok, komunitas global benar-benar merasa lega bahwa pilihan-pilihan sulit namun penting telah dibuat demi masa depan bersama umat manusia.
 
 


Di Bali, para pemimpin G20 berjanji menjunjung hukum internasional dan sistem multilateral yang menjaga perdamaian dan stabilitas, serta menyepakati pentingnya penyelesaian konflik, diplomasi, dan dialog secara damai.   Karakteristik paling menonjol dari zaman ini adalah bahwa nasib semua bangsa terkait erat. Mereka naik atau turun bersama-sama.

Mereka berjanji akan mengambil langkah untuk mendorong ketahanan pangan dan energi serta mendukung stabilitas pasar, dan terus meningkatkan kerja sama kebijakan makro dan mencegah risiko kerugian dan limpahan negatif. Mereka juga sepakat mendukung negara-negara berkembang, khususnya negara-negara berkembang kepulauan kecil dan terbelakang, serta berjanji untuk memperkuat pengimplementasian penuh dan efektif dari Perjanjian Paris dan target suhunya.

Pertemuan APEC juga menyoroti kerja sama yang erat untuk mendorong pertumbuhan yang kuat, seimbang, aman, berkelanjutan dan inklusif, serta komitmen untuk mewujudkan Visi APEC Putrajaya guna membangun komunitas Asia-Pasifik yang terbuka, dinamis, tangguh, dan damai pada 2040.

Perlu dicatat juga bahwa di Bali, Presiden China Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengadakan pertemuan yang jujur, mendalam, konstruktif, dan strategis, di mana kedua kepala negara membahas isu-isu utama mengenai hubungan bilateral serta prospek perdamaian dan pembangunan dunia.

Meski Dr. Henry Kissinger menggambarkan summit Xi-Biden sebagai upaya "membangun jembatan", yang lainnya di seluruh dunia meyakini bahwa upaya tersebut kondusif untuk membawa hubungan China-AS kembali ke jalurnya dan merupakan anugerah bagi dunia.

Karena kebijakan provokatif serta taktik intimidasi Washington, hubungan bilateral yang dianggap paling penting di dunia itu mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir dan merenggang dalam beberapa dekade. Hal itu membuat dunia gelisah mengingat dampak global dari meningkatnya permusuhan antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut.

Saat mengomentari pertemuan Xi-Biden, Ani Dasgupta, presiden World Resources Institute, mengatakan "komunitas global kini bisa bernapas dengan lega."

Konsensus penting yang dicapai, baik di dalam ruang konferensi G20 maupun APEC atau di sela-sela pertemuan tersebut, menunjukkan era baru transformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia, seperti yang ditunjukkan Xi dalam pidato KTT G20-nya, "Kita bertemu pada saat terjadinya perubahan-perubahan penting yang belum pernah ada dalam satu abad terakhir."
 
 


Karakteristik paling menonjol dari zaman ini adalah bahwa nasib semua bangsa terkait erat. Mereka naik atau turun bersama-sama. Itulah sebabnya visi keamanan bersama, komprehensif, kooperatif, dan berkelanjutan harus diadvokasi dan diterapkan oleh semua.

Demi mencapai visi semacam itu, pemikiran Perang Dingin "Anda menang saya kalah" harus ditinggalkan terlebih dahulu. Jika beberapa negara gagal melepaskan diri dari kecanduan mengejar keamanan absolut yang dapat mengorbankan negara lain dengan mengobarkan konfrontasi ideologis, dunia hanya akan berakhir menjadi tempat yang lebih berbahaya.

Dan pembangunan menjadi nyata hanya ketika semua negara berkembang bersama. Kemakmuran dan stabilitas tidak mungkin tercapai di dunia di mana yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin.

Itulah sebabnya dunia perlu bersama-sama merombak pembangunan global, menjadikannya lebih inklusif, bermanfaat bagi semua, dan lebih tangguh.

Untuk memacu pembangunan bersama, semua negara besar harus melaksanakan tanggung jawab mereka dengan secara tulus membantu negara-negara lain berkembang dan menyediakan lebih banyak barang publik global. Praktik "beggar-thy-neighbor" (satu negara mencari keuntungan dengan mengorbankan negara lain), atau pengadopsian strategi "halaman kecil berpagar tinggi" tidak boleh menjadi pilihan.

Mengingat G20 mencakup hampir semua ekonomi besar di seluruh dunia, dan APEC mewakili kekuatan ekonomi paling dinamis di dunia, pesan mereka untuk mengganti perpecahan dengan persatuan, dan konfrontasi dengan kerja sama sangat penting bagi dunia yang tengah dilanda kecemasan.

Meski hiruk-pikuk diplomasi global beberapa hari terakhir baru saja berakhir, tujuan untuk menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik bagi semua masih harus menempuh perjalanan panjang.

Dengan semangat yang sama, negosiator iklim dari seluruh dunia yang menghadiri konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Mesir sepakat untuk membuat pendanaan khusus guna mengompensasi kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim di negara-negara miskin, sebuah terobosan untuk membendung pemanasan global.

Dunia tentu punya alasan bagus untuk bersorak dan optimistis. Namun demikian, membuat pilihan yang tepat hanyalah langkah awal. Langkah-langkah nyata harus segera diambil.

Copyright © ANTARA 2022