ada tanda awas bagi kita di Indonesia bagaimana konsentrasi harus sedini mungkin melakukan skrining pada ibu hamil
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus memperkuat skrining atau penapisan pada ibu hamil untuk mencegah HIV/AIDS menulari anak-anak bangsa lebih meluas.

“Kalau (sudah kena) di usia muda, di usia anak, berarti transmisi vertikal dari ibu ke anak masih berjalan,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu dalam Peringatan Hari AIDS Sedunia 2022 yang diikuti di Jakarta, Kamis.

Maxi menuturkan bahwa kasus HIV/AIDS yang paling banyak mengenai anak-anak berasal dari pihak orang tuanya. Hal lain yang juga dapat mengenai anak-anak adalah penularan melalui hubungan seks baik yang dilakukan oleh ibu sebelum hamil ataupun anak itu sendiri.

Bila melihat berdasarkan data yang Kemenkes miliki, orang yang paling banyak terkena HIV adalah usia produktif berkisar dari 19 hingga 49 tahun. Populasi usia itu, menduduki sekitar 60 persen dari total pasien yang ada.

“Ini berarti ada tanda awas bagi kita di Indonesia bagaimana konsentrasi harus sedini mungkin melakukan skrining pada ibu hamil,” ujar Maxi.

Oleh karenanya, pemberian skrining pada ibu hamil sangat penting untuk diberikan. Pemerintah sendiri saat ini sedang menggalakkan skrining HIV yang dibarengi dengan pemberian skrining Hepatitis juga Sifilis.

Baca juga: Kemenkes: Keterlibatan tokoh agama dan jarkom penting cegah HIV

Baca juga: Kemenkes: Pemerintah fokus kejar booster pertama bagi masyarakat umum


Menurut Maxi dengan skrining yang dilakukan sedini mungkin, ibu dengan HIV dapat segera mendapatkan pengobatan Antiretroviral (ARV) yang membantu penyakit itu tidak menular ke anak-anak.

“Dengan meminum ARV itu 100 persen dia tidak akan menular ke anak-anaknya. Tapi dengan catatan dia minum teratur ARV-nya. Jadi skrining sepenting itu pada ibu hamil, yang positif kita obati jangan sampai lolos, sehingga penyebaran secara vertikal kepada anak-anak itu tidak akan terjadi,” ucapnya.

Di sisi lain, penguatan skrining harus diimbang dengan penguatan edukasi pada keluarga terkait dengan kesehatan reproduksi. Kemenkes dalam hal ini meminta bantuan Kemendikbudristek untuk memberikan penguatan edukasi terutama pada usia remaja di sekolah.

Kemudian penguatan edukasi juga terkait dengan bahaya seks bebas, sosialisasi kondom sebagai pengaman yang melindungi diri dari infeksi penyakit menular juga karakteristik dan gejala HIV/AIDS.

Dalam hal ini, keterlibatan tokoh agama maupun jaringan komunitas masyarakat sangat berperan penting mengajak masyarakat untuk menolak seks bebas.

Upaya tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama dalam mencegah pengobatan pada para ibu tidak berjalan akibat potensi-potensi seperti alasan jarak yang jauh, sifat malas hingga tidak adanya izin yang diberikan oleh pasangan untuk melakukan pengobatan yang memicu terjadinya lost to follow up.

“Jangan lupa kita juga kolaborasi skrining untuk program HIV/ AIDS dengan Tuberkulosis (TBC). Hampir semua dengan AIDS itu sudah hampir pasti kena juga TBC. Dua ini betul-betul harus kita kolaborasikan,” katanya.

Sebagai informasi, Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau sebuah virus yang menyerang dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Sementara Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.

Berdasarkan data Kemenkes, prevalensi HIV di sebagian besar wilayah adalah 0,26 persen. Namun di Papua dan Papua Barat sudah menyentuh 1,8 persen.

Baca juga: Kemenkes: Skrining HIV membaik namun pengobatan masih rendah

Baca juga: Kemenkes: Target menuju three zero HIV/AIDS 2030 belum optimal


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022